Rabu, 16 Juli 2014

Ulat


Siang ini Kaspar merasa matahari menghukumnya. Matahari membakarnya dua kali lebih panas dari yang biasa ia rasakan setiap tengah hari ketika ke rumah.

Dengan keringat yang membuat basah kemejanya, ia membuka pintu. Segera ia menggeser kursi di ruang tamu dan duduk di atasnya. Panas.

Rumahnya kini memang kurang terawat. Semenjak isteri jelitanya meninggal pekan lalu, rumah itu memang kelihatan lebih tua 10 tahun. Tidak terawat. Ia juga akhirnya sakit-sakitan. Badan kurus.

"Lebih enak bila isteri jelitaku memanjakan aku dengan belaian kasih yang tiada taranya itu. Kita pernah hidup bersama dari dahulu". Dan lamunan ini pun sudah ia renungkan, nikmati, dan akhirnya menjadi sesak di dada. Paling tidak itu penilaian dan pergumulannya sepekan ini.

Setelah menghela nafas dan istirahat sebentar, ia mengambil gelas dan menuangkan air dingin dari cerek kecil.

Betapa terperanjatnya Kaspar ketika mendapati kotoran berbentuk bubur kental masuk ke dalam gelasnya. Bukan air. Kaspar geram. "Siapa gerangan yang memasukkan benda sejijik itu dalam cerek minum?"

Gelas itu masih di tangannya. Sesaat kemudian, ulat-ulat kecil pun muncul dari dalam kotoran itu, merayap hingga sampai ke tangannya.

Melihat geliat para ulat, Kaspar muak. Lambungnya bergetar hebat. Sebentar kemudian, Kaspar memuntahkan isi perutnya: ia memuntahkan ribuan ulat. Ulat-ulat ini berjenis sama. Sama-sama berwarna putih. Mereka indah. Tapi kepala mereka, taringnya, mereka benar-benar kotor dan menakutkan.

Kaspar menggigil. Ia tak habis berpikir. Dengan segera ia merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Badan lunglai. Mata ia pejamkan. Ia menahan muak. Beberapa saat berselang, ia merasa ada ulat menggeliat keluar dari hidunya. Juga melalui telinga. Dan betapa kagetnya ia ketika mendapati rumahnya kini telah jadi lautan ulat.

Kaspar berlari ke luar dan segera berteriak, "Toloooongg, toloooong, ulaaaatttt, ulaaattt".

***
Jam alarm membangunkan Kaspar. Segera setelah mandi dan sarapan, ia bergegas ke kantor. Di pintu kantor, ia melihat rekan-rekan kerjanya.

Ia melihat wajah para sahabat sekantornya seperti bangkai hidup. Ulat telah menggerogoti kepala mereka. Ulat-ulat itu sedang dengan rakusnya menggigit, mengunyah dan menelan tanpa rasa puas setiap inci daging kepala rekan-rekannya.

"Kepala-kepala dan sebagian tubuh kalian penuh ulat? Mengapa kalian tak merasakan?" tanya Kaspar.

Para sahabatnya bertawa berderai sambil mengisap dalam-dalam rokok putih seputih ulat yang menutupi kepala mereka itu, terus masuk ke kantor sambil menggeleng kepala.

Ia kemudian melihat sahabat kerja yang lain. Sama.

Juga di tempat sampah depan kantor, ulat-ulat itu bersarang. Beberapa warga mulai terserang ulat. Moanemani sebentar lagi akan dikuasai para ulat. "Tidak. Aku harus membebaskan rakyatku dari belenggu ulat," begitu saja pikir Kaspar tegas. Ia pun kemudian melangkah.

***
"Hati-hati, Kaspar, si pembunuh itu datang".

Begitu orang saling mengingatkan ketika Kaspar lewat dengan anak panah dan pisau. Dengannya, ia berusaha membunuh setiap ulat yang ada.

Kaspar membunuh siapa saja orang yang ia dapati penuh dengan ulat. Tak peduli tua dan muda. Hal ini dikarenakan mereka yang telah terjangkit wabah ulat itu telah mendapat cairan merah dan biru milik sang ulat yang membuat pikiran manusia menjadi seperti pikiran ulat. Sehingga yang dipikirkan manusia-manusia itu adalah bagaimana menguasai kota untuk kemenangan dan kejayaan ulat, bukan rakyat.

Kaspar bak pahlawan. Setidaknya itu menurut penilaiannya sendiri. Tak peduli pria dan wanita. Tak peduli dia saudara atau bukan. Juga sahabat dan kenalan, bila ada ulat di tubuhnya, ia harus dilenyapkan dari Moanemani.

Manusia-manusia berulat harus minggir dari Moanemani. Rakyat biasa yang tak terjangkit penyakit ulat harus dilindungi. Mereka tak boleh menjadi manusia-manusia ulat.

Kaspar menelusuri setiap lorong, setiap jalan. Ia ada dimana ada manusia berulat. Ia habisi mereka. Kaspar semakin gencar dalam misinya memberantas ulat di Moanemani. Sudah tujuh tahun dia memerangi ulat. Ia tak kuasa.

Di depan warung Ujung Pandang, dekat terminal Moanemani, sebelah pangkalan ojek, Kaspar duduk dekat kotak sampah mengais makanan. Ia tak sudi membeli makanan penuh ulat yang dijajakan pemilik warung.

"Lebih baik makan yang dibuang tapi tak berulat," begitu pikir Kaspar sambil mengais makanan di kotak sampah depan warung.

Beberapa mobil berplat merah berhenti depan warung, dan makluk-makluk berdasi dengan kepala penuh ulat masuk ke warung, memesan makanan yang juga penuh ulat itu. Kaspar dengan jelas melihat kepala mereka telah busuk. Muka mereka seperti orang yang setengah tahun telah meninggal. Busuk dan berulat.

"Kaspar lewat, ko menjauh dari dia," begitu kata pejabat yang baru saja keluar dari mobl berkaca gelap itu kepada rekannya ketika melihat Kaspar ada di depan warung sedang mengacak-acak sampah.

"Kaspar itu siapa. Gila?"

"Iyo. Ko tra kenal kah? Dia dulu kerja di Dinas Pekerjaan Umum. Dipakai juga di bagian Pembangunan. Dia orang pintar, tapi tratau, dia sudah gila-gila jadi. Su tidak kerja lagi sekarang. Begitu sudah, tidak mandi sejak saat itu. Pantas kotor. Dia yang biasa teriak-teriak kata 'Ulat' terus itu".

"Kasihan..." timpal rekan yang lainnya. Dan rekan yang lainnya mencubit lengan rekannya memprotes kata "kasihan" yang keluar.

Kaspar menutup hidung dan menjauhi warung dan kedua pejabat itu. Ketika Kaspar menjauh, saat itu aku sedang berjalan kaki habis membeli buku tulis dan sedang menuju Asrama Putera Santo Fransiskus Asisi Moanemani.

Kaspar memanggilku dan berbisik. "Adik, lari ke tempat yang jauh sekarang juga. Kau beserta sahabat-sahabatmu yang belum terjangkit wabah, tinggalkan kota ini. Kota ini telah takluk dan para pemudanya telah banyak jadi para perwira ulat".

Kata-katanya seperti kata malaikat saat memerintahkan Lot dan keluarga untuk melarikan diri tanpa menoleh ke belakang ketika Tuhan ingin menghukum Sodom dan Gomora karena kejahatan penduduknya.

Aku bingung. Tapi kemudian, aku lari juga. TAMAT.

Oleh, Topilus B. Tebai

Tidak ada komentar: