Rabu, 16 Juli 2014

Daun di Batang Pohon



Ini kisahku.
Kisah yang mungkin tra akan ssa lupa, yang selalu ssa ingat dengan terus menyesal, karena ssa pu diri ini tra mampu lebih brani, beberapa detik saja, untuk ssa mo katakan bahwa ssa benar-benar suka sama dia.

***

Ada satu wanita, dia adalah cintaku yang pertama. Dia punya wajah yang cantik, kulit yang hitam manis agak kemerahan, passs skali dengan dia pu kulit yang cokelat hitam. Dia Gadis Papua yang cantik alami.

Jujur saja, ssa suka dia. Pandangan pertama, hanya itu, dan hatiku luluh, bergetar. Dia seorang yang serius mendalami agama, jujur, dan apa adanya. Itu juga adalah sifat-sifat yang aku sukai.

Apakah ini salah atau tidak, ssa tratau. Yang jelas, waktu itu, saya kurang percaya diri untuk bilang, "Ade, kaka sayang ko." Saya masih malu dan canggung untuk mengatakan ssa suka dia.

Dia brikan untukku perhatian yang lebih. Berusaha tetap dekat denganku, dan dengan tegar berdiri di sampingku saat semua meninggalkanku, di saat-saat kelamku. Bagiku, dia adalah malaikat penolong yang diutus Tuhan untukku.

Interaksi kami dekat. Dia selalu memanggilku sobat. Saya juga membalasnya dengan panggilan serupa. Dia memperlakukanku lebih dari seorang sobat. Sama juga perlakuanku padanya. Tapi kami sobat.

Waktu itu, ada satu gadis mendekat, mengirim sinyal cinta padaku. Aku meresponnya positif. Kmai jadi. Waktu itu, aku berduaan dengan dengan pacarku di samping sekolah. Aku tak menyangka, sobatku itu akan melihat kami berduaan. Sobatku itu hanya tersenyum padaku dan pada pacarku, dan kemudian pergi.

Esok hari, kulihat pelipis mata sobatku itu bengkak. Matanya merah. Dia terlihat seperti habis menangis. Aku kira, aku telah menyakitinya, karena aku yakin, dia mencintaiku.

Aku segera disibukan dengan pelajaran, ekstra, dan teman-temanku. Pulang sekolah, ketika aku pulang bersama pacarku itu, Sobatku datang dari belakang, mencubit perutku keras-keras, dan lari sambil tertawa meninggalkan aku bersama pacarku.

Saya segera menemukan cinta kedua. Pertama putus. Yang baru ini lebih cantik dari sobatku dalam wajah. Tetapi soal keberanian, agama, kejujuran, sobatku lebih sempurna.

Pulang sekolah, aku mencium kening pacarku. Ketika menoleh, sobatku itu sudah di sampingku. Tanpa kata, dia terus melangkah. Aku memanggilnya. Kali ini, sobatku terus jalan. Kali ini, aku merasa bersalah.

Esoknya, mata Sobatku kembali kemerahan. Pelipis matanya bengkak. Wajahnya kelihatan habis menangis. Siangnya dia kembali ceria, mencubit perutku seperti biasa dari belakang, dan terus lari tingalkan aku sendiri yang meringis kesakitan di dalam kelas.

Pacar kedua memutus hubungan denganku. Ketika hatiku tidak bergairah, malaikat penolongku datang. Dia Sobatku. Dari jauh, wajah ceria yang ia buat sudah mumpu menggodaku. Senyumnya mekar. Dia duduk di sampingku.

"Sobat, pacarku memutuskan hubungan kami. Saya tidak paham dengan keputusannya.."

Untuk menguji cintanya, kemudian aku melanjutkan. "Sobat, sa saat ini su dikejar-kejar seorang perem. Ssa kira perem itu juga cinta Ssa." Perempuan dalam ungkapanku itu adalah dia, sobatku itu, yang saat ini duduk di sampingku ini..
Sobatku itu menunduk. Ketika dia melihatku, mukanya mendung. Ketika kukerutkan kening, dia dengan segera kembali cerah.

"Baguslah.Saya juga ingin belajar tidak mengharapkan cinta dari seorang yang aku cintai. Aku ingin membuka sedikit pintu bagi dia, teman kelas kita. Dia telah menyatakan cinta padaku 7 kali." Dia sobatku, dia bidadariku yang ssa kagumi. Saat ini, mungkin dia tidak sadar, bahwasanya dirinya telah mengeluarkan kata-kata yang teramat pedas didengar telinga hatiku.

Yang lebih menyakitkan adalah bahwa dengan entengnya dia mengucapkan itu sambil tersenyum. Padahal, aku disini mencintainya. Sobatku itu berdiri, mengedipkan mata pada diriku yang sudah semakin hancur, dan dia kemudian pergi.

Aku tersentak. Ada rasa cemburu menjalari hati. "Sobatku, saya mencintaimu. Mengapa kau memutuskan seperti itu?" kemudian ada suara lain dari dalam hati menyakut, "Mengapa kau sakiti aku dengan menerima cinta dari dua gadis itu? Aku hanya sekali mengatakan aku ingin menerima cinta dari yang lain. Sakit kan? Aku sudah berlipat ganda merasakannya."

"Aku sadar, aku tidak sedari awal mengatakannya. Aku sadar, aku terlalu tidak percaya diri mengatakan saya cinta ko. Saya menyesal, dan yang harus kau tahu, ini luka yang tak akan sembuh sampai nanti."

***

Aku punya seorang teman kelas. Dia lelaki terganteng, sopan, ceria, dan jujur, dan perhatian padaku. Sedari awal, sejak pandangan pertama, aku suka dia.

Kami duduk sekelas. Ketika teman perempuanku sebangku dicintai dia yang kukagumi, ada perasaan aneh menjalari tubuhku: cemburu! Namun aku juga mencintai sahabatku, dia yang kini lebih berhasil menerima cinta dari dia yang kukagumi.

Hati benar-benar hancur ketika melihat mereka berduaan. Sepanjang malam aku menangis. Aku katakan berulang ulang dalam hati sambil menyebut namanya, "sayangku, aku mencintaimu. Tidak cukupkah tandaku padamu agar kau tahu aku mencintaimu? Tidakkah kau mengerti bahwa aku mencintaimu?"

Dia putus dengan pacarnya pertama. Aku gembira. Namun esoknya aku sadar, dia sudah memunyai penggantinya. Hati kembali sakit.

Kadang saya berpikir, dia mengerti bahwa saya mencintainya. Dia memanggilku Sobat, seperti saya memanggilnya, tetapi perlakuannya padaku lebih dari sekedar Sobat. Aku juga demikian. "Tapi, mengapa dia tidak memulainya mengatakan, dia mencintaiku, sama seperti yang diucapkannya pada temanku?" Akh, aku rindu saat-saat itu, dimana dia yang kukagumi mengatakan bahwa dia mencintaiku.

Sambil menyebut namanya, kadang aku dengan sedih berkata, "Sobat, ko tra harap ssa yang seorang wanita ni sbagai orang pertama untuk menyatakan cinta to? Ko lelaki ka tidak! Kenapa ko tra mulai dan bilang?"

Saya tetap berada di samping dia, terutama di saat-saat dia kesulitan, dimana pacar dan teman-temannya yang musiman itu meninggalkannya. Ini caraku untuk mengatakan, aku benar-benar mencintainya. Saya tetap berharap, suatu hari nanti, dia jujur pada dirinya, dan dengan berani mengatakan, i love you.

Puluhan pria telah datang mendekat. Aku tepis mereka. Bagiku, dia lebih dari semuanya yang datang. Di antara puluhan itu, aku mengagumi kegigihan seorang lelaki. Dia temanku sekelas, dan dia dengan tabah mencintaiku. Aku kagumi dia, karena dia mencintaiku saat aku tidak mencintainya, dan berusaha hadir di saat-saat dukaku.

Aku punya pengalaman yang sama, pernah merasakan pahitnya mengejar cinta dari orang yang tidak ingin bersama kita. Saya mencoba membuka sedikit pintu buatnya di hatiku.

Ibarat sebuah pohon, aku ibarat daun yang ingin tetap hidup menempel di tubuh pohon. Sobatku yang sebenarnya adalah yang kuanggap lebih pantas bersamaku, mendampingiku, dia batang pohonnya. Sementara dia yang aku kagumi, yang baginya pintu hati sedikit kubuka, dia bagai angin yang semakin kencang menerpaku, mencoba melepasku dari pohon, untuk membawaku lari jauh.

Aku mulai sadar, suatu saat nanti, Angin ini akan membawa diriku, Daun yang mulai lusuh ini, jauh dari Sang Pohon, tempat harapan dan asa kuruncingkan.

***

Akhirnya ssa benar-benar lepas. Angin lebih berhasil melepaskan ssa. Mungkin karena hanya ssa yang berusaha tetap bertahan pada sang Pohon, sedang sang Pohon tidak menginginkan aku bersamanya.

Ketika aku dibawa lari sang Angin, Pohon hanya tersenyum padaku. Air mataku jatuh. Bukan karena aku menyesal tidak bersamanya nanti, tetapi karena senyumannya itu. Dia tersenyum sangat manis kala aku dibawa jauh darinya, dan ini menghancurkan batinku, terutama saat kuingat perjuanganku mendapatkannya.

Oleh, Topilus B. Tebai

Tidak ada komentar: