Rabu, 16 Juli 2014
Sonia
"Sonia, kau sudah dewasa.
Jangan bebani lagi ayahmu ini. Pulang dan menikahlah, datang dan jaga adik-adikmu yang telah lama ditinggal pergi ibumu ini."
Kata-kata ayahnya itu rasanya lebih menyakitkan dari sakit Malaria yang dideritanya. Air mata terus menetes. Sonia ingin sekolah.
***
Pouya. Kampung ini ada di atas permadani rumput di lembah Kamu. Dari pasar Moanemani harus jalan kaki dua jam ke selatan untuk sampai ke kampung Sonia ini. Di sana imajinasinya berlabuh, malam ini.
"Ayah sakit keras. Ayah tak berobat karena tak ada uang. Adik-adikmu kelaparan di rumah. Pulanglah". Itu sambungan surat ayah.
"Ayah, Sonia ingin sekolah," dan titik-titik air mata membuat basah kertas kusam di tangannya. Tulisan tangan ayahnya mulai kabur karena basah. Hatinya bergolak kencang.
Mengingat wajah bulat oval ibunya kala bersamanya pulang dari kebun membawa bahan makanan untuk dikonsumsi dan jualan, air mata kian deras mengalir. Ia ingat pesan ibunya.
"Andai Ibu ada. Aku tak mungkin dipaksa putus sekolah".
"Sonia, kau tidak harus memilih menjadi sepertiku, pagi ke kebun dan sore kembali ke rumah. Teramat berat mengurus tanah. Menanam, memelihara, memanen, menyediakan makanan, semua itu berat. Kau ingat sahabat ibu yang di samping kantor bupati itu? Dia teman Ibu kala SMP. Sekarang dia kerja di kantor. Kerja tanpa keringat karena ada kipas angin. Ibu ingin Sonia seperti dia," begitulah Ibu memberi Sonia motivasi.
Sonia memang kenal ibu Dominika. Perempuan cantik yang gendut dari Ugapuga itu memang sehat dan awet. Dia tak banyak kerja seperti ibunya.
"Sonia, kehidupan yang akan datang akan sangat berat, ..." dan Sonia sudah tak ingin lagi menambah beban pikiran mengingat semua nasehat almarhumah ibunya.
Sudah cukup pedih. Angin yang bertiup kencang malam itu dan hujan deras yang menyusulnya tak membuat Sonia pulas tertidur.
Pikirannya menerawang jauh. Masa depannya menantang untuk ditelusuri. Ia yakin dia akan berhasil, seperti mimpi ibundanya. Bagaimana tidak, Sonia juara umum tiga kali untuk angkatannya di tiga tahun dirinya belajar di SMA YPPK Teruna Bakti Jayapura.
Sonia ingat surat cita-cita yang telah ditulisnya ketika diminta guru Bimbingan Konselingnya. "Saya ingin kerja di kantor kabupaten." Sonia ingat benar apa yang telah dituliskannya. Itu bisikan almarhumah ibu yang belakangan ini terus diingatnya.
"Bagaimana dengan Jhon?" tangis Sonia kali ini khusus untuk lelaki yang amat dicintainya.
Dia Johanes, teman SMP dan SMA. Sonia tak ingin bila kelak dirinya tak bersama Jhon. Tak rela. Bahkan batin Sonia dengan tegas berkata, "Sonia, kau tak punya hidup di luar hati Jhon".
***
Pertengahan Mei, hasil diumumkan. Para guru di SMA Katolik ini sudah punya kandidat juara umum sekolahnya untuk ujian nasional yang sebentar lagi akan diumumkan. Siapa lagi bila bukan Sonia.
Di ruangan kepala sekolah, ada 3 ijazah milik para siswa yang tidak hadir ketika pembagian ijazah di sekolah. Dua siswa telah datang dengan orang tua, dan dengan gembira, mereka mengambil ijazah mereka. Tinggal satu ijazah di meja. Itu ijazah milik Sonia. Ijazah dengan nilai-nilai terbaik seangkatan menjadi yang terakhir diambil.
Seminggu, dua minggu, sebulan, setahun berlalu, Sonia tak kunjung datang mengambil ijazahnya.
Sonia tak ia temukan di Jayapura. Kota yang teramat besar untuk ukuran kota di Papua pada umumnya ini telah ditelusuri kepala sekolah dan jajaran guru. Sonia hilang.
"Sonia menangis malam itu. Ia siapkan tas. Setelah itu, tidak tahu". Begitu saja keterangan yang diberikan orang tua wali Sonia di Jayapura. Keterangan singkat yang tak memuaskan.
Surat telah dikirim beralamat Pouya. Sang kepala sekolah tak tahu, pak Pos tak mungkin akan ke kampung itu, ke Pouya. Lagipula, bagaimana bisa? Ayah Sonia yang dituju telah meninggal setelah Sonia tiba di Pouya, tepat sehari sebelum pengumuman kelulusan SMA.
***
Sore ini adalah tahun ke-7 sejak peristiwa di atas. Langit cerah. Seorang ibu bertubuh kurus dengan berbagai bawaan sedang menepi ke perkampungan, sesore itu. Sebentar lagi gelap.
"Maria, kemari. Kita istirahat dulu".
"Mama, kita jalan saja sudah. Hari sudah semakin gelap".
Seorang anak perempuan dengan senoken sayur hitam mendekat. Dia melepas bawaannya di atas kepala dan menatap dalam-dalam ibunya. Ibunya memandang arah barat. Matahari sedang terbenam setelah puas seharian menggerogoti ibu-anak itu di kebun mengurus tanah.
"Maria, kau tak harus menjadi seperti ibumu ini. Mengurus kebun dan rumah terlalu berat. Menanam, merawat, memanen, mengolah, itu pekerjaan berat. Apalagi kau lakukan tiap hari. Kau ingat ibu Monika, yang memberimu uang dua ribu rupiah ketika kita menjual sayur padanya? Dia temanku ketika SMP dan SMA. Kau harus berpendidikan agar menjadi seperti dia, bekerja di kantor kabupaten. Tidak seperti ibumu ini ..."
Sonia ingat ibunya. Di tempat ini, tepat di senja, seperti saat ini, nasehat serupa pernah keluar dari almarhumah ibunya, 19 tahun yang lalu.
Dan air mata Sonia tak tertahankan lagi saat ini, di depan anak perempuan pertamanya, Maria. TAMAT.
Oleh, Topilus B. Tebai
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar