Cerpen Topilus B. Tebai
Mereka berserakan di depan asrama, amat banyak. Mereka
adalah daun-daun yang telah gugur dari tangkainya. Bedanya, selain letaknya yg
tak lagi di ranting pohon, juga karena warnanya tak lagi hijau. Mereka sudah
kekuningan. Mati.
"Mereka sudah jadi sampah. Merusak
pemandangan." Abbi berkata padaku suatu sore. Paginya, ia mengelompokkan
mereka dengan sapu lidi.
"Kita bakar tumpukan sampah ini." Adhen
datang dengan korek api.
“Mereka bukan sampah. Mereka masih daun. Daun yang
sudah gugur.” Kudengar seorang lain menyanggah.
Walau begitu, sudah jadi kesepakatan umum, daun yang
tak lagi menyatu dengan ranting di pohon dianggap sampah, walau masih tetap
disebut daun yang telah gugur, mereka tak lagi berguna untuk dirawat. Mereka
berguna hanya bagi tanah untuk kesuburannya usai dibakar.
Aku duduk saja tanpa kata di pendopo depan asrama. Mata
tetap tertuju pada mereka, para daun yang telah gugur yang sedang dikumpulkan
itu. Mereka terseok-seok mengumpul, seperti pasrah lidi-lidi itu menggeser mereka dari
tempat semula hingga menumpuk, saling tindih-menindih.
Kemudian pandanganku tertuju pada pohon cemara ini.
Batang tubuhnya kokoh. Dahan dan rantingnya banyak, penuh daun hijau. Di antara
yang hijau itu, ada warna kekuningan.
“Mereka hanya tunggu waktu. Mereka tak akan lama
bertahan di ranting. Sebentar lagi mereka akan jadi sampah dan dibakar.” Adhen
terus berkata sambil membakar sampah. Api belum nyala juga. Walau mereka daun
kering, mereka punya tubuh yang basah.
“Di Jayapura,” kata Adhen berkisah, “Kakak yang suka
tumbuhan selalu memisahkan yang kering dari yang hijau. Misalnya daun kering
dan tangkai-tangkai yang tak memberi manfaat banyak. Selain mereka memboroskan
makanan, juga menghancurkan pemandangan.”
Angin dari pantai selatan mulai bertiup dengan kencang.
Satu per satu, beberapa daun dari cemara ini gugur. Adhen dengan ceruk
mengangkat sampah dan mencampakkannya ke tempat pembakaran, “Mirip pendosa di
akhirat oleh tangan Tuhan,” batinku.
Dan kini aku menyesal tidak mempelajari pelajaran alam
saat di SMP dan SMA dengan baik. Ini karena pertanyaan seperti, “Apa yang
membuat daun hijau itu menjadi kekuningan, tak kuat lagi dan gugur,” atau
“Mengapa dan bagaimana perubahan warna terjadi. Awalnya hijau, kemudian
kekuningan, dan gugur.”
Batinku bergolak. Aku masih diam tanpa kata di mulut
saat dia menyapaku.
“Hai, untuk apa kau melamun. Tak baik bagi anak muda
sepertimu.” Aku menoleh ke kanan dan kiri. Adhen sibuk bakar tumpukan daun.
Abbi masih menyapu.
“Heii,”
“Tuhan,” aku kaget. Daun kering yang baru saja jatuh
ini menyapaku.
“Haii, bagaimana kau dapat bicara?”
“Kaget? Aku juga makhluk. Sama sepertimu. Jangan kaget.
Kau berpikir tentang apa, sobat?”
“Aku, aku pikir mengapa manusia menganggap kalian yang
jatuh adalah sampah dan hanya berguna bagi tanah untuk kesuburannya. “ Aku
berkata padanya tanpa mampu memandang wajahnya. Malu. Malu karena kaumku
memperlakukan kaumnya demikian.
“Sobat, Aku juga sebenarnya tak mengerti. Tapi karena
semua ini berulang ulang terjadi dan dalam waktu lama, maka sudah seperti
siklus. Siklus yang telah diamini seperti itu semestinya. Entalah bila ada
lebihnya.”
Kemudian aku dengar ia mencurahkan padaku semua yang ia
rasa. “Sebelum aku dibakar dan menyatu dengan tanah untuk diserap dan menjadi
makanan dan tempat bagi makluk lain untuk hidup mereka,” katanya.
“Kau mesti mengerti,” katanya, “Kemarau panjang ini
membuat lebih banyak daun yang mesti gugur. Percayalah, kami yang gugur juga
ingin seperti mereka yang lain, tetap berlama-lama di pohon hingga waktunya
tiba. Tapi hidup pohon lebih utama.”
Dia menarik nafas. Berat ia melepasnya lagi. Aku masih
diam menanti lanjutan ceritanya. “Kami sadar, kami bermanfaat bagi pohon di
musim hujan. Tapi masalah bagi hidup pohon di musim kemarau. Kami tahu diri dan
memilih gugur.”
Ia memandangku lama. “Pikirmu,” katanya padaku, “Kami
tak tahu konsekwensi menjadi daun kering?” Aku diam. Masih tak mampu bicara.
“Ketika di pohon, kalian memandang kami dengan kagum.
Mengagumi kami karena memberi efek hijau, alami, dan keindahan. Begitu kami
gugur, kami tak lebih dari sampah. Sampah yang harus dibakar, diterlantarkan,
diabaikan. Dikumpul untuk dibakar,
menderita terbakar, hingga wujud kami menjadi debu, menyatu dengan tanah lagi.”
“Kaum kami memberimu hidup dengan oksigen yang kami
lepaskan dan karbondioksida yang kami ambil,” tuturnya lagi padaku. “Tapi kami
tak pernah menyesal dan marah pada angin yang membuat kami gugur.”
Tak menyesal? Aku masih tak mengerti.
“Sobat, kami mengerti dan memilih jalan kami, untuk
tidak melibatkan banyak pihak untuk disalahkan, pada rangkaian persitiwa yang
memang harus kami rasakan, yang menjadi bagian dari kehidupan kami.”
Saya yakin
para daun gugur itu sadar bahwa dengan menyalahkan angin, mereka tak dapat untung. Manusia akan tetap menganggapnya
sampah, daun yang gugur, dan hanya mengotori tanah. Tapi apa yang yang ada dalam pikiran
mereka? Optimisme itu mungkin gamambaran kemampuan mereka bangkit menatap masa
depan.
“Kami
tahu apa yang harus dilakukan. Tidak lagi bergantung pada batang, memohon pada
akar, atau bahkan menyalahkan angin.
Tak peduli apa pikir kalian pada kami, aku yakin kaum kami tak sekedar sampah
dan daun yang gugur.”
Ia
tetap melanjutkan. Aku masih tetap duduk mendengarnya.
“Kami
akan jadi pupuk untuk tanah. Usai menyatu dengan tanah, jadi sumber makan bagi
sang pohon demi misi yang sama yang dijalankan kaum kami yang masih di batang
pohon. Semua itu bagi nafas yang kau hirup, nafas yang dihirup Adhen yang
membakar tubuhku nanti, juga Abbi yang datang dan memungutku guna dibakar.”
***
Ini zaman asa menyatu menuju merdeka, pejuang tak mesti memandang semua hitam-putih. Lihat baiknya,
siasati sisi lainnya. TAMAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar