Rabu, 16 Juli 2014

Pipit di Jendela Kamarku


TEPAT pukul 17.00 WIB, burung pipit itu kembali hinggap di bingkai jendela kamarku. Sudah 2 tahun pipit nyasar ini singgah ke tempatku. Selalu pukul 07.00 WIB.

Tangan yang sedang bergerak memencet tut-tut di keyboard terhenti seketika. Pipit kecil itu kelihatan terluka. Matanya berair. Andai manusia, ia bak seorang wanita paruh baya yang baru usai menangisi kepergian suami atau anak sulungnya yang paling dicintai.

Akh, aku iba. Kuulurkan tangan menyetuh pipit malang ini. Ia tidak pergi ketika kusentuh. Seakan pipit ini datang untuk kutolong, malah pipit itu jatuh ke tanganku. Aku punya dorongan kuat yang mengatakan pipit ini kepunyaanku. Akh, aku buang jauh-jauh dahulu pikiran ini. Segera kutangkap pipit malang ini. Darahnya tercecer di lantai meja belajarku. Mengalir. Basah. Kemudian membeku.

Siulan menyayat hati pun kemudian keluar dari mulut kecilnya. Lidahnya terlentang antara langit-langit atas dan bawah rongga mulutnya, seperti Kristus di salib terlentang antara langit dan bumi. Akh, aku jadi iba karenanya.

Bulunya yang indah kemudian juga lembab karena darahnya sendiri. Tanganku sudah berlepotan darah. Akh, sial benar nasib burung ini. Juga nasibku memberi perhatian padanya.

Untuk usia pipit biasanya, ia sudah cukup berumur. Mungkin sudah beberapa kali melahirkan makluk-makluk baru, mewarnai keindahan Mahakarya ciptaan Tuhan ini.

Dan ini kemudian pertanyaannya yang aku pikir ketika pipit ini menatapku: "Kok, ada ya, manusia-manusia tak berperikemanusiaan yang begitu tega menciderai hak kemerdekaan atas hidup sang pipit ini?"

"Bukankah pipit ini pun juga makluk ciptaan Tuhan yang pantas untuk menikmati kehidupan dalam kemerdekaannya yang tentu telah dibatasi oleh hukum alam dimana dia hidup?"

Kemudian, tiba-tiba saja, aku jadi merasa bertanggung jawab atas keselamatan nyawa si pipit ini. Aku kemudian sibuk memberikan pertolongan.

Kubawa pipit ini kepada sahabatku. Aku ingin memberinya obat, dan kupikir sahabatku ini akan memberiku obat buat pipit ini.

"Hehehe, sobat, tidak masuk di akal bila kau ingin mengobati pipit yang sudah terluka parah ini. Dia sedikit lagi akan mati dan tidak akan tertolong walau kau obati dia."

"Akh, tidak. Dia pasti sembuh. Ada obat merah?"

"Tidak ada. Obat merah ada. Tapi saya ingin kita pelihara saja burung ini. Pipit ini indah. Bisa kita jadikan teman. Dia bisa memanjakan mata kita dengan keindahan tubuhnya, dan dengan siulannya yang merdu, telinga kita bakal disuguhi syair-syair indah tentang cinta. Dari sana, barulah tutup batok imajinasi kita terbuka, dan kita akan mampu menggali potensi yang kita punya."

Aku menjadi begitu terkesan juga lelah mendengar ceramahnya. Tapi tanpa kuminta dia telah melanjutkan lagi.

"Kan kamu sendiri yang dulu ceramai aku mengenai kekuatan imajinasi."

"Iya, tapi aku tidak setuju bila kita peliahara dia."

"Akh, pikir! Ini kesempatan langka. Burung pipit seindah itu mana bisa kau dapat dengan mudah? Sekarang barang sudah ada di tanganmu, dan kamu ingin melepasnya pergi begitu saja setelah diobati?"

Aku tak ingin berbicara lagi dengannya terlalu lama. Aku kemudian menuju tetanggaku. Dia lelaki dari negeri yang jauh.

"Sobat, boleh aku minta sedikit obat merah?"

"Aku ada. Kau terluka?"

"Tidak. Akut tidak terluka. Aku ingin memberi obat kepada burung pipitku ini." Kemudian kutunjukan padanya pipit yang terkulai lemas di tanganku itu.

"Akh, untuk apa kau obati. Kita masak saja burung ini. Dagingnya pasti enak. Apalagi bila dibakar pakai cabai dan kecap. Atau pakai mentega dan garam, dan dipangang di api. Atau dengan menggorengnya menggunakan tepung bumbu biar lebih gurih."

Tuhan. Aku tidak menyangka imajinya akan sampai ke sana. Sementara aku berpikir akan keselamatan sang pipit yang kini tak berdaya di tanganku ini, dia telah berpikir mengenai cara mengolah daging pipit ini setelah dibunuh.

"Stop. Aku masih punya harapan burung ini akan hidup. Kalau kau tidak ingin memberiku obat, terserah. Aku akan meminta obat kepada tetanggaku yang lain."

Kemudian, walau tak diperintah oleh otoritas tertinggi -hanya didorong rasa iba dan prihatin- kakiku terayun menyusuri jalan ini. Banyak orang datang mendekat. Ada yang mengagumi keindahan tubuhnya. Adaya yang mengatakan tubuh pipit atletis, ototnya kokoh dan tegas, dan kaya protein. Ada yang mengatakan bulu-bulunya indah.

Ada juga yang menelan air liur. Entah apa yang mereka lihat. Barangkali otak mereka diisi imajinasi serupa tetanggaku tadi. Aku tidak tahu.

Tibalah aku pada seorang dokter dari negeri yang jauh.

"Kotoran burung ini dapat membuat mata orang-orang yang buta di kutub utara dan selatan menjadi melek. Dan otaknya mengandung protein yang belum dimiliki pipit-pipit lain. Proteinnya mampu membuat seribu anak dari negeri dari arah matahari terbit dan seribu anak dari negeri matahari terbenam menjadi cerdas melebihi Albert Einstein."

Aku kemudian menjadi begitu kagum pada burung ini. Kemudian kuingat lagi ini, bahwa selama 2 tahun, pipit ini datang padaku setiap pukul 17.00 WIB.

"Pipit ini dicari orang-orang pintar seluruh dunia. Bahkan Barack Obama dan koleganya menggelar rapat internal hanya untuk membicarakan bagaimana burung ini tidak ditemukan oleh bangsa-bangsa lain di dunia kecuali oleh kaum mereka, karena mereka telah berpikir, mendapatkan burung ini, walau siulannya terdengar, itu mustahil."

Aku menjadi tidak paham.

"Ini pipit ajaib." Itu saja yang aku pikirkan. Kemudian dokter itu menawari aku menuju rumahnya. Dengan pesawat super cepat, aku kemudian dibawa kepada sebuah pulau.

"Aku dengar suaranya. Suaranya itu misterius. Pulau ini kubeli dengan recehan yang jatuh dari langit setiap aku dengar suara pipit ini."

"Ini mustahil." Akh, aku tiba-tiba saja menjadi begitu bangga dan bersyukur pipit ini kemudian ada padaku, menjadi milik kepunyaanku.

"Aku dapat menyembuhkan pipit ini. Darahnya akan menghasilkan kekayaan miliaran dan terus berlipat ganda dari yang aku punyai. Dagingnya akan menghasilkan kekayaan miliaran dan akan terus berlipat ganda. Dan bulunya yang aduhai indahnya ini akan menjadi alasan mengapa orang-orang di dunia memuja diriku seorang."

Aku masih tidak mengerti maksudnya. Burung itu kian gemetar. Seperti ketakutan melihat malaikat maut datang mendekat layaknya.

"Berikan padaku pipit kotor yang berbau amis darah ini. Dan silahkan pilih apa saja yang kau inginkan di dunia ini."

Aku tergoda dengan semua yang ada. Kekayaan. Jabatan. Uang. Wanita. "Apa yang kurang?" Aku mencari kekuarangan di dalam semua yang ditawarkan. Tidak ada.

"Tidak. Aku tidak akan memberikannya padamu."

Entah mengapa, aku menjadi begitu berani. Mata iba pipit di tanganku kemudian memberiku energi misterius. Aku merasa pipit ini adalah milik kepunyaanku, dan aku berhak melindunginya, bertanggungjawab atas hidup matinya.

Kemudian dokter itu kulihat menjadi seorang monster. Melihat wajahnya saja sudah membuatku gemetar dan berkeringat.

"Kalau itu pilihanmu. Akan kubunuh kau dan kukuasai pipit milikmu. Kekayaanku akan bertambah berlipat-lipat. Dunia akan menyebutku 'tuhan', 'Yang Dipertuan Agung'. Dan aku tak akan mengeluarkan sepeser pun untuk membayarmu". TAMAT.

Oleh, Topilus B. Tebai.

Tidak ada komentar: