Rabu, 16 Juli 2014
Peluru di Kaki Bukit
Sejak peluru itu menembus masuk jantungku dan tubuhku kejang-kejang untuk sesaat, aku sadari, kertas kusam itu masih kugenggam erat. Kelopak mata tak lagi dapat mengatup. Asap putih mengepul dari tembakau dalam lilitan daun kering yang sedari tadi belum kuisap. Pikiranku tak lagi di kaki bukit ini.
"Nak,
Perjuangan ini berat. Telah ada sedari dahulu. Zaman sudah berubah. Perjuangan tidak harus dengan mengangkat senjata. Turun gununglah, Nak. Kau, dan pasukanmu, semuanya. Ibu yang lahirkan kau terkapar sakit. Malaria, Nak, kau tahu kejamnya."
Bila hanya di situ ulasannya, hatiku tak aka pernah goyah. Surat itu telah kuanggap bagai ombak pantai Arso yang memukul-mukul dinding karang. Itu lumrah. Lagipula, bukankah tebing karang tak menggubrisnya?
Bukankah hatiku lebih tegar dari batu karang? Aku bersumpah membuktikan kebulatan tekadku berjuang hingga penjajah laknat enyah dari bumiku atau darahku tercurah di garis ini.
"Kau tahu, Nak. Sejak penyerbuanmu ke pos polisi tempo hari dan uang yang kutolak, hidup kita seperti di alam orang mati. Tak ada orang bersahabat dengan kita, Nak. Juga Bu Dina yang kadang membantu kita, ia telah termakan hasutan. Aku yang lumpuh ini kau punggungi mengurus ibumu yang kaku di atas tilam digerogoti penyakit."
Bagaimana pun juga, aku seorang anak. Ayahku memang lumpuh. Kakinya ditembak ketika berusaha melarikan diri pasca penyerbuanku enam bulan silam atas pos polisi di Arso. Dan kini mulai terbayang luka tanpa perawatan bermutu akibat tembakan itu di lutut kanan ayah. Juga wajah ibu yang meringis kesakitan di tilam daun pandan di dipan, dalam rumah itu.
Air mata kusadari mulai mengumpul di pelupuk mata. Beberapa telah menggelinding, jatuh, mengenai janggut panjang kotor, merembes hingga ke pipi. Kurasai. Pahit. Sepahit jalan perjuangan ini.
***
Papua Merdeka. Itu kalimat yang hanya enak dibayangkan. Hanya enak untuk diteriakkan. Atau dipidatokan. Atau dituliskan. Saya rasakan betapa berat langkahkan kaki di bawah rasa takut dan lapar, di bawah gelisah dan derita, di bawah sinar bulan malam yang kadang suram, demi wujudkan kata itu.
Aku sadar, usahaku tak seberapa. Tapi aku paham benar. Tak usaha, itu lebih terkutuk daripada perjalanan panjang kami hari ini.
Hutan-hutan negeri ini telah 7 tahun kugerayangi. Kami berkelompok. Kami umumnya tak berpendidikan tinggi. Tapi aku pribadi punya impian. Impian itu sebenarnya adalah hak dasariahku sebagai manusia: ingin bebas dan merdeka.
Aku tak ingin ada pemerintahan yang lain selain West Papua. Kukenal Papua sudah menjadi negara merdeka. Dan bila kuingat tragedi aneksasi Papua melalui Pepera oleh ayahku yang eks-Pepera itu, gemelutuk hatiku. Geram. Teramat pedih melihat sejarah bangsa dicocok hidung demi kepentingan.
Aku tak cukup ilmu dalam hal ini. Pengetahuan militer juga kurang. Satu-satunya hal yang menjadikanku pria pemberani pemanggul senjata adalah hati nuraniku sebagai anak bangsa. Aku lelaki. Aku terpanggil mengusir penjajah. Aku generasi pejuang. Aku harus lahirkan generasi penikmat derita ini. Hanya itu. Dan sejarah mendukung. Dan perjuangan ini jalan terus. Di sini aku berada.
Yang membuatku geram adalah mereka yang di kota-kota, para penjilat. Mereka yang mengambil jabatan-jabatan dan sogokan demi sesuap nasi untuk hidup mereka sesaat. Entah mengapa, aku begitu prihatin dengan nasib bangsa ini.
Bukankah menyakitkan bila seorang sahabat seperjuangan menyerah, meletakkan senjata, sujud di hadapan penjajah, dan kini balik memburuku? Bukankah sakit bila anak bangsa sendiri menyebutku sekelompok manusia rakus kekuasaan dan jabatan hingga terlalu ambisius mendirikan negara, dengan berlagak tak tahu sejarah? Bukankah sakit sekali, bila anak bangsa sendiri akhirnya mau menyerahkan nyawa sebangsanya demi sesuap nasi?
Dari kaki bukit ini, aku meratap sedih. Air mataku kini bukan hanya karena surat ayah. Aku meratap sedih mengingat sejarah kemenangan beralih menuju cerita kehancuran. Sedih karena anak bangsa tak ingin bangga di hari esok dengan menegakkan kemegahan rintisan leluhur.
Aku pikir, dunia telah berubah. Aku mungkin gila. Dan kini aku terdiam merenung.
"Apa susahnya meletakkan senjata dan menyerah. Toh, perjuangan ini akan terus ada. Lihat mobil dan rumahku sekarang. Juga isteriku yang jelita itu. Aku kini tak susah ke Jakarta."
Itu rayuan sahabatku, kemarin, sebelum surat ini tiba. Sepertinya generasi ini punya dua sisi: sisi penjilat dan penikmat yang turut serta menikmati hidup dalam kemerdekaan semu, dan kelompok gila yang bermimpi menghadirkan kemerdekaan sejati. Dan aku ada di kelompok gila itu. Mungkin.
Kini hanya tersisa ruang untukku menyesali pilihan yang telah kubuat.
Bila aku tak pilih memanggul senjata, aku pikir sekarang aku telah menjadi salah satu pegawai di perusahaan raksasa itu. Punya gaji yang cukup. Bahagia bersama isteri dan anak-anak. Menghabiskan waktu bersama mereka dalam damai. Sayangnya, sejarah hidup tak mampu kubalik saat ini.
Dan aku berhalan tersenyum, justru di saat-saat seperti ini. Aku bangga memilihnya demikian.
Kulanjutkan membaca surat ayah.
"Nak, pulanglah. Temui Ibumu, sekali saja. Setiap malam, dia menyebut-nyebut namamu."
***
Dari jauh pandanganku menyelidik seisi rumah itu. Kutelanjangi pekarangan. Tiga rekan kuminta tetap melindungiku dari jauh. Aku tiba juga di depan rumah. Pintu tertutup rapat. Rumput tinggi. Pintu dapur tak lagi terbuka. Ada laba-laba bersarang. Pupanggil nama ayah dari luar. Tak ada sahutan.
Kepalaku tertunduk lemas. Rumah yang dulu kutinggalkan tak seperti ini. Kubuka pintu. Aku langsung ke bilik Ibu. Disana, ada lelaki renta duduk di samping perempuan tua di atas tilam. Kuperhatikan mereka.
"Ayah". Dan kupeluk lelaki itu. Tangannya dingin. Kurus. Tak bertenaga. Tanpa kata, ia menyuruhku duduk. Aku duduk, beradu pandang dengan ibu. Senyum terukir di wajahnya. "Ibu," panggilku mencium keningnya yang keriput.
"Aku telah kembali, Ibu. Ayah, Aku telah kembali." Dan kulihat Ibu bangun dari tidurnya. Pakaiannya tak lagi sekusam yang dulu. Kini putih, bersih. Ayahku merangkul dari belakang, seperti ketika aku remaja, dahulu.
"Mari Nak, kita menuju negeri kita." Dan kami berdiri, menyeberangi jembatan pelangi, menuju surga para leluhur kami.
***
Esoknya, Papua gempar. "Pimpinan OPM Arso ditembak mati di markasnya di kaki bukit, dalam satu penyerbuan intelijen, subuh tadi, ..." begitu kepala berita di salah satu surat kabar ternama di Papua.
Dan sederet nama mendapat penghargaan. Bangsa dan negara bangga akan kerja anak negerinya yang dengan rela menjaga keutuhan wilayah NKRI. Paman dan Sepupuku yang mengantar surat Ayah kemarin kulihat ada serta di deretan terhormat itu. SELESAI.
Oleh, Topilus B. Tebai
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar