Rabu, 16 Juli 2014

Karena Luka



Awalnya udara pagi membuat tubuhku kedinginan.
Sejuk. Kemudian suara hatiku memberontak berdiri. Tubuhku seperti melayang, kemudian menempati sudut ruangan ini. Setelah bernafas panjang, aku berpikir dalam hati bahwa aku ada di rumah itu, rumah Vietnam. Kemudian kubuka mata perlahan.

Ruangan ini seperti aku kenal. "KNPB Referendum". Akh. Aku kini ingat tulisan itu. 40 hari yang lalu, akulah yang menuliskannya.

Pagi itu, seperti biasa, setelah berdoa dan membaca pernyataan sikap aksi, lantas kupegang pengeras suara dan melirik jam yang menempel di tangan kiriku. Sudah pukul 08.00 waktu Papua.

Kupanggil teman-temanku kumpul depan penginapan. Kami tak lebih dari 30 orang. Rakyat bangsa kami sudah menunggu di persimpangan-persimpangan jalan, siap bersama kami menyatakan kepada dunia bahwa kami bangsa yang ingin hidup sendiri.

Akh, aku kenang suasana ketika itu. Indah. Aku terlalu bersemangat, dan aku ingat benar pagi itu. Sambil menunggu sahabat-sahabat seperjuangan siap-siap, kuambil cat merah dan tangan kemudian bergerak merangkai kalimat ini, "KNPB Referendum".

Aku koordinator lapangan aksi. Tanggung jawabku adalah membuat demo berjalan damai dan aman hingga tuntutan kami tersampaikan. Soal didengar atau tidak, akh, itu urusan nanti. Seingatku, aku telah berpikir demikian, kala itu.

Seperti 40 hari yang lalu, aku kini masih melirik ulang polesan tanganku di tembok rumah: "KNPB Referendum". Kalimat indah untuk diimpikan. Kalimat yang sulit untuk diperjuangkan. Maklum, makluk yang menindasku ibarat makluk yang lahir dari pelataran neraka: Lihat iya, dengar tidak -apalagi menimbang dalam hati akan kebenaran tuntutan kami. Akh, terlampau sedih aku mengingatnya.

Matahari telah bersinar terang. Sahabatku, Usak, habis mandi, kulihat ia memasuki kamar. Usak. Aku ingat dia. Usak sahabatku sekamar sebelum aku menikah dan pindah rumah. Perlahan aku ikuti dia. Pintu ia kunci. Aku, menerobos masuk, menembusi pintu yang telah ia tutup, dan tak sengaja menubruknya. Tak ada suara. Hanya Usak yang kulihat seperti kedinginan. Mungkin akibat kutabrak dia. Entalah. Kulihat wajahnya. Kusapa dia. Usak tak menoleh. Tak membalas.

"Kita barangkali hidup di dunia lain".

"Aku seperti terasing, Tuhan. Dan kemudian kepalaku selalu pening memilirikan keanehanku 40 hari terakhir ini. Tuhan, aku ingin mati saja". Kali ini aku merintih dengan sungguh-sungguh, berharap mati. Dan ini keanehan yang lain. Usak tak mendengar rintihanku, apa-apa. Aku benar-benar di dunia lain.

Hidupku memang aneh. Setidaknya untuk hari-hari terakhir ini.

Yang kusadari kini hanya satu: aku menunggu. Sebenarnya aku bingung menunggu siapa dan apa yang membuatku merasa menunggu. Akh, entahlah. Aku kini berlahan mendekati komuterku. Kubuka file demi file.

Kudengar alunan musik perjuangan mengalun, mengiris batin sepi yang rindu kemerdekaan ini. Suara musik berasal dari kamar Johan. "Akh, lelaki itu..." dan aku terus membuka file. Dan lagu-lagu perjuangan membuatku ingat goresan tanganku: "KNPB Referendum". Akh....

Aku kenal file ini. File keluarga. Aku klik sekali dan kuklik lagi di foto wanita yang satu ini. Foto Merlinda.

"Istriku tercinta. Akh, betapa berat bebanmu kini sayangku. Maafkan kekasihmu ini". Dan kemudian titik-titik air mata ini jatuh mengisi parit-parit kecil antar tut-tut keyboard komputer.

Gambar selanjutnya adalah gambar anakku lelaki: Samuel. Dan untuknya, kini hatiku mulai teriris lagi. Aku, ayahnya ini, "Aakh, mungkin aku Ayah paling tidak bertanggung jawab di negeri terjajah ini". Aku mengumpati diriku sendiri. Ruangan tetap sepi. Dan kini aku kembali merasa berada di dunia lain.

Aku lelas-jelas mengetahui bayangan kelam yang mulai tergambar jelas di benakku.

Makan apa nanti anak dan isteriku setelah uang hasil menjual motor rongsokan di samping rumah yang kutinggalkan itu ludes?

Juga bagaimana dengan anakku lelaki ini? Aku ingat dia menagisiku ketika aku pamit padanya subuh itu, 40 hari yang lalu, ketika untuk paginya aku memimpin ribuan anak bangsa turun jalan menuntut hak. Sekarang baru aku mengerti arti tangisnya. Dan untuk masa depannya, kali ini mataku berair. Perih. Teramat perih. Masa depan anakku suram!

Mengingat Samuel anakku, kuingat Merlinda Ibunya. Dia terlalu cantik untuk kutinggalkan. "Merlinda, kau boleh memilih siapa saja untuk mendampingin hidupmu. Tapi satu hal yang harus kau ketahui, aku masing mencintaimu. Dan aku ingin..." Dan udara dingin kembali membuat tulangku gemelutuk. Aku membatinkan semua derita ini. Sepi.

***

Demi didengarnya alunan musik perjuangan ini, hatiku memerah bara. "Semua karena kau!" dan aku membanting meja komputer ini. Usak sudah keluar dari kamar ini. Dan alunan musik Johan membuatku marah, sepagi ini!

Andai bukan karena perjuangan ini dan kemudian aku membatin. Kubayangkan diriku bersama isteriku dan Samuel anakku di rumah kami. Mungkin di pagi hari, aku sudah keluar rumah untuk melihat-lihat pisang bakar yang telah aku tanam di samping rumah kami.

Kembali ingatanku berpindah pada persitiwa di pagi itu. Aku berjalan duluan, mendahului para sahabatku menyusuri jalan sejarah ini, menuju sarang penjarah harta dan menghisap cairan nadi tanah kami. Disana, aku mengutuk tindakan biadab mereka membungkam ruang demokrasi. Kubeberkan luka lama yang telah mereka goreskan di tanah ini, dan kuuraikan pembalut-pembalut luka yang mereka pakai.

Sayangnya, luka memihak kami. Lendirnya tetap menembusi pembalut dan bubuk pengeras lendir, mengalir ke luar, meleleh, membuat kami yakin luka masih tetap ada, membusuk, dan harus dibersihkan. Ketika bau busuknya tercium, aku mintai setiap anak bangsa mencium bau busuk itu dan menejelaskan pada mereka, luka harus dibersihkan.

Luka memang harus dibersihkan. Tapi, entah apa yang di pikiran mereka, para pengguna lencana itu. Mereka malah takut kami meminta dokter membersihkan obat. Luka tidak ingin diperlihatkan. Mereka memakai perban, menutup rapat-rapat luka itu. Sementara aku di jalanan ini sedari dahulu meneriakkan apa yang mereka mengerti: luka harus dibersihkan. Kami akan tetap kesakitan dan terus berteriak sampai luka sembuh. Dan dokter harus turun tangan.

"Bila tidak, buatlah referendum. Kami ingin luka dibersihkan".

"Bila kau ingin luka tersembunyi, bagaimana dengan kami yang terus kesakitan? Baiklah, akan kusurati jiwa kesetananmu pada Tuhan Kita di Langit Ketujuh. Kau sudah secara terang-terangan menyimpang dari undang-undang kehidupan: Sengaja membiarkan bangsaku menderita kesakitan, sedang luka sumber sakit kau sembunyikan dari dokter penyembuh. Sedang dari mulutmu keluar nyanyian manis: luka sudah sembuh. Lihatlah. Perban di luar sudah merekat pekat".

Dan mereka tunjukkan pada bangsa-bangsa plester terluar mereka yang menutupi luka kami. Dan kami terus kesakitan. Plester-plester itu jugalah yang semakin menindih luka. Sakitnya alang kepalang. Raungan kami mungkin sudah sampai ke langit ketujuh, tempat Tuhan Kami bersemayam.

Dan aku yakin, para pemakai lencana itu akan mampus dipanggang di atas lidah lidah api tak berkesudahan di pelataran neraka.

***

"Akh. Beberapa menit lagi". Dan aku sudah tak sabar lagi. Ini yang juga membuatku bingung. Mendekati tengah hari, aku mulai gelisah. Sebentar lagi kau akan pergi. Dan suara itu mendengung keras dalam sukma.

Berlahan, kudengar suara seorang anak kecil memanggil-manggil namaku. Kukenal baik nama itu. Sementara dari kejauhan, balatentara agung berjubah putih datang menyongsongku. Aku tiba-tiba mengenali diriku berpakaian sama seperti mereka. Dan tiba-tiba aku tersungkur jatuh dan sujud di hadapan dia yang datang.

"Bukan aku, sahabatku. Dia yang memanggilmu menanti di atas. Mari". Mereka yang datang mengangkat wajahku. Dan aku berdiri. Kami bersama melayang.

Dan aku mulai mengepakkan kedua tanganku yang telah menjadi sepasang sayap. Aku terbang bagai rajawali. Segala perlengkapan dunia kutangalkan. Dan aku melayang. Tiba-tiba suara kecil itu kembali nyaring di telingaku. Kukenal suara itu.

"Anakku..." Aku merintih. Langkahku terhenti, sesaat.

Dan kulihat jelas di depan mataku, Samuel anakku, ia terisak, tepat di samping Isteriku, dan mengirim surat kata-kata kepada Sang Raja Langit Ketujuh.

"Kaka Yesus yang baik,
Sa pu bapa tu pahlawan untuk sa pu tanah. Sama seperti Kaka, pahlawan untuk sa dan sa bapa pu dosa-dosa, untuk keselamatan akhirat kami.
Sa pu Bapa juga Kaka pu adik too.
Kaka Yesus, pas hari ini ni su hari ke-40 sa bapa meninggal.
Tentara dorang su bunuh pas demo lalu tu, Kaka Yesus dari Surga pasti su lihat.
Sa pu bapa trasalah, Kaka.
Sa bapa minta luka tu jang kasih perban saja, tapi kasi bersih lalu obati too, tapi dorang malah tutup-tutup luka alee ...
Kaka dari Surga nonton kami jadi pasti su tahu smua.
Kaka Yesus, tolong bawa sa pu bapa ke Kaka pu rumah di Sorga. Jang sampe sa pu bapa tu dapat tembak juga dari mas tentara yang pas dua hari lalu meninggal juga.
Amin".

Oleh, Topilus B. Tebai.

Tidak ada komentar: