Kamis, 17 Juli 2014

Dia Adik Kandungku


Kelap-kelip lampu Karaoke ini tidak mengizinkan mataku untuk terus membaca kata demi kata pada secarik kertas kusam yang kini ada di depan mataku. Surat dari Ibu kali ini cukup panjang. Biasanya, Ibu selalu memberiku nasehat.

Jangan begini, harus begitu. Ini sesuai, ini tidak. Ini boleh, ini harus dihindari. Itu tidak diizinkan, yang ini boleh. Pokoknya macam-macam. Sering aku pikir dalam hati Ibuku terlalu bawel. Suka mengatur dan menegur.

Kadang juga aku berpikir, aku tidak dihargai sebagai seorang lelaki dewasa. Umurku sudah 35 tahun. Aku sudah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, duduk di kursi agung itu. Aku bekerja pada gedung mewah, ber-AC, dengan fasilitas kerja yang serba wah. Itu artinya, aku sudah bisa mengatur hidupku sendiri. Sudah begitu, Ibuku malah menasehati aku, ini dan itu. Repot!

Namun, bagaimana pun juga, aku harus membacanya tuntas. Barangkali ada informasi penting yang akan disampaikan Ibu. Maklum, Ibu jarang berkirim surat. Walau kami sepulau, Ibuku masih tinggal di kampung. Ini bukan salahku. Sudah aku minta Ibu tinggal di apartemen yang aku beli dari hasil kerjaku di DPR.

Ya, biasalah, orang kampung. Lebih ingin di kampung dengan fasilitas yang serba terbatas daripada tinggal di apartemen mewah punyaku.

Aku sendiri belum pernah pulang ke kampung sejak aku selesai kuliah, mencalonkan diri menjadi anggota DPR, dan bekerja pada lembaga ini. Aku hanya bisa mengirim uang secukupnya buat Ibu, Markus, adikku lelaki yang menjadi petani di kampung, juga untuk biaya pendidikan dan kebutuhan Anita, adik perempuanku satu-satunya.

Namun aku juga masih bisa mengerti Ibu. Dia sudah lahir di kampung itu, dan tak ingin sedikit pun berpikiran pindah dari tanah tempat ia tinggal. Entah apa alasannya. Dalam surat kali ini, Ibu hanya menjelaskan panjang dan lebar soal adik perempuanku, Anita.

Rupanya ibu cukup kuatir dengan perubahan yang mulai ditunjukan oleh Anita. Katanya, Anita sudah mulai berdandan aneh. Pakaiannya sudah model you can see. Koleksi pakaiannya sudah berbagai motif. Lipstiknya, bedaknya, pokoknya, soal make up, semua telah lengkap.

Bahkan, kata Ibu, Anita sudah memunyai kamar rias sendiri di rumah. Aku sudah mulai geram membaca surat dari Ibu. Setiap kali aku kirim uang untuk biaya pendidikannya. Juga untuk kebutuhan hidupnya. Semua itu aku buat, hanya supaya adik perempuanku satu-satunya itu, ia dapat menjadi perempuan yang perkasa. Setidaknya, lebih perkasa menghadapi hari esoknya. Anita itu, adik perempuanku sendiri, malah mempergunakannya untuk hal-hal yang tidak aku kehendaki. Gila!

Aku harus melanjutkan lagi membaca. Ibu kemudian mulai merasa cemas, karena Anita sudah mulai pulang malam. Bahkan, kata Ibu, sudah sejak 3 hari yang lalu, Anita sudah tidak tinggal lagi di rumah. Kata Ibu, dia dibawa pacarnya, seorang anak bangsawan dari Negeri Barat.

Aku geram. Hatiku benar-benar mendidih. Aku tidak terima adikku dengan tindakannya demikian. Di akhir-akhir penjelasan Ibu mengenai Anita, Ibu menjelaskan bahwasanya semua perubahan itu juga adalah pengaruh pacarnya itu. Kata Ibu, dirinya sudah memperingatkan Anita perihal lelaki kebanyakan. Mereka, para lelaki, selalu saja menunjukkan yang terbaik dari semua yang mereka miliki. Mereka hanya mengincar yang berharga dari diri perempuan. Bila itu sudah benar-benar menjadi milik sang lelaki, barulah akan kelihatan sifat mereka yang asli.

Akh, aku gulung saja surat itu, kumasukkan saja di dalam tas. Lampu kelap kelip di tempat Karaoke ini cukup menghibur suasana hatiku.

Jarum jam terus berputar. Beberapa teman DPR telah bergandengan tangan bersama para wanita penghibur. Ketika aku masih duduk dengan gelas anggur merah di tangan, seorang wanita muda mendekat.

Pakaiannya bukan pakaian wanita penghibur. Tapi jelas, dia bukan juga pengunjung. Pakaiannya sederhana. Tatapan matanya tajam. Sejak masuk melalui pintu utama, gadis itu langsung menuju tempatku.

Gadis itu mendekat, duduk di sampingku. Aku akui, dia gadis yang cantik, anggun. Begitu cepat ia membius akal sehatku dengan kecantikannya. Begitu lentiknya jari menjalari dadaku, menyentuh ujung-ujung nadi, membuat darah mengalir kencang. Aku sudah hanyut.

Beberapa jam setelahnya, aku tersentak kaget. Aku seakan baru menyadari semua yang telah aku lakukan. Akh, tidak. Aku segera bangun dari ranjang. Perempuan itu sudah tidak ada lagi di sampingku.

Segera aku berpakaian, ke luar kamar. Di bawah, di tempat Karaoke, pengunjung masih ramai. Aku segera menuruni lift, dan segera meminta izin teman-teman untuk terus ke tempat penginapan.

Di atas bus, wajah wanita itu terus terbayang. Caranya memandangku, cara jalannya, lekukan wajahnya. Mengingat wanita di tempat Karaoke itu, aku jadi ingat wajah adikku. Rambutnya yang hitam keriting, kulitnya yang hitam manis..., "Tuhan, itu adikku..," Begitu mirip.

Benar, mirip.

"Tuhan..," suaraku tertahan.

Aku hanya mampu memegang dahi. TAMAT

Oleh, Topilus B. Tebai

Tidak ada komentar: