Rabu, 16 Juli 2014

Alun-alun Utara Yogyakarta


Malam Sabtu sekitar jam 7. Dari tenda biru tempat saya duduk ini, kupandang dua pohon beringin di tengah alun-alun utara kesultanan Yogyakarta. Gagah!

Kesultanan Yogyakarta yang saya tahu adalah sebuah kesultanan yang dengan sadar mengatakan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ketika Indonesia berdiri. Kota Yogyakarta pernah menjadi ibu kota negara Indonesia, kala Soekarno memerintah.

Kesultanan Yogyakarta menjadi salah satu nadi penyuplai nutrisi tetap tumbuh suburnya negara ini. Saya selalu tertarik menelusuri sejarah dan perkembangan kota ini. Walau saya seorang putra Papua.

Sambil nikmati nasi uduk di dalam terpal biru ini, pikiranku melayang. Sedikit singgah di akhir tahun 1961, pada 19 Desember tepatnya, di alun-alun utara ini. Soekarno dengan berapi-api mengumandangkan Trikora.

Isi Trikora lugas, tegas, seperti para pemimpin imperialis leluhurnya semisal Gadjah Mada, Soekarno berkata: Papua adalah tanah air kita bangsa Indonesia. Kita harus gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda kolonial.

Masih dalam imajiku, saat itu, rakyat dari berbagai kesatuan perjuangan dan golongan militer pasti telah tumpah memenuhi ruang-ruang kosong, memadati alun-alun utara kota ini. Dan kulihat sebuah panggung setinggi satu meter, tepat di samping dua pohon beringin itu.

Bagai layar lebar, aku segera hanyut dalam imajiku: Soekarno dengan berapi-api mengutuk habis-habisan tindakan Belanda mempersiapkan bangsa Papua untuk merdeka, dan dengan peluh menetes karena panas matahari kota Yogyakarta yang menyegat, Soekarno mengatakan Sabang sampai Merauke adalah wilayah kedaulatan RI yang harus dipertahankan, tanpa memedulikan panas terik yang membuat keringat jatuh dengan nakalnya di dahi hingga keraknya.

"Mas, ini airnya. Silahkan diminum."

"Terima kasih."

Penjaga warung memberiku air putih segelas. Bagai kabel yang diputus, yang otomatis memutus berita korupsi negara terhangat di TV yang pasti dikutuki banyak orang. Pemberian air ini pun membuyarkan tontonanku di ruang imaji.

Segelas air kuteguk. Segar. Imaji akan masa lalu seakan terusir jauh. Dan diam-diam saya bersyukur atasnya, tak ingin mengingat lembaran yang hanya menyiksa hati itu.

Di malam seperti ini, alun-alun utara, tempat yang begitu bersejarah itu, kini telah disulap menjadi tempat akumulasi kapital. Di setiap sudut alun-alun, kulihat warung-warung kecil milik warga asli Yogyakarta berdiri. Mereka jualan. Agak ke tengah alun-alun, ada mainan anak-anak, aneka pakaian, dari bayi hingga dewasa dijajakan. Alat-alat elektronik tak ketinggalan juga. Warga Yogyakarta jugalah yang menjajakan itu semua.

Sementara beberapa pemuda terlihat mendorong gerobak dengan bunyi khasnya yang langsung dipanggil oleh beberapa pengunjung. Ada jagung hangat, ubi, kacang, dan singkong. Makanan yang aku makan juga di Papua.
Uang menjadi begitu penting. Dan alun-alun utara menjadi tempat perputaran uang.

Saya masih tetap duduk. Setelah bayar, saya menepi menuju tempat parkir motor. Seorang penjaga parkir mengharuskan aku membayar parkir. Tiga ribu rupiah.

Ada beberapa hal yang aku kagumi dari kota ini. Yogyakarta telah menjadi kota budaya. Kebudayaan kesultanan ini tetap diangkat, menjadi roh dalam setiap pembangunan yang terlihat modern, sehingga kelihatan modern, tapi berbudaya. Ada pentas ketoprak, wayang orang, wayang kulit di setiap kedukuhan, RT, atau di acara-acara besar.

Di Yogyakarta TV, aura budaya tetap ditampakkan.

Yogyakarta juga menjadi tempat pariwisata. Tempat-tempat wisata menjadikan masyarakatnya memunyai mata pencaharian. Mereka dapat berprofesi sebagai apa saja di situs-situs sejarah dan budaya yang kerap juga dikunjungi orang. Lapangan pekerjaan terbuka. Sebut saja Borobudur dan Prambanan.

Banyak masyarakat Yogyakarta jadi penyedia jasa untuk menjelaskan sejarah situs. Satpam, petugas kebersihan, pedagang oleh-oleh khas situs dan pengrajinnya, semuanya dikerjakan oleh warga Yogyakarta.

Sementara sebagai kota pelajar, ribuan pelajar setiap tahun datang. Banyak juga yang selesai belajar dan kembali ke kampung halaman mereka. Yang datang, tentunya menjadi begitu kagum akan kota Yogyakarta yang bersih, tata kotanya yang dibangun dijiwai oleh kebudayaan, juga dengan tempat banyaknya tempat wisata menarik, dan murahnya biaya hidup.

Sementara yang pulang ke kampung halaman mereka, kesan mereka diceritakan, hingga lebih banyak lagi minat pelajar untuk melanjutkan pendidikan di Yogyakarta.

Hal ini merangsang Yogyakarta menjadi kota pendidikan. Banyak universitas berdiri. Ratusan. Mengingat semua ini, saya jadi ingat kata Thomas, seorang Batak, aktivis PMKRI.

"Menurutku, bangsa Batak adalah bangsa yang pintar manfaatkan situasi. Sama dengan orang kesultanan Yogyakarta."

Saya dengar saja pendapatnya. Sebelum saya bertanya apa maksudnya, dia telah menjelaskan duluam. Dari penjelasannya, saya pahami ini.

Indonesia telah keliru. Bentuk negara yang kesatuan tak akan mampu mengimplementasikan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Dia hanya akan membuat daerah-daerah melepaskan diri, memisahkan diri, kecuali Papua -karena kesadaran nasionalismenya lahir dengan cara unik, dan sepertinya tak tersangkut dengan inti kesimpulan ini.

Bangsa Batak cerdik. Semangat merantau, daya juang, dan keinginan kuat untuk berpendidikan tinggi ditumbuhkan. Seperti para pendahulu mereka, misal Tan Malaka dan Mohammad Hatta, banyak orang Batak menjadi nahkoda-nahkoda kecil yang juga ikut menentukan arah kapal yang namanya Indonesia ini.

Kembali ke Yogyakarta. Kota budaya, pendidikan, pariwisata, kota dengan kehidupan yang kata mereka adem ayem ini didukung sederet pemikir dan menggerak profesional dengan ilmu yang mumpuni, yang unggul di bidangnya masing-masing. Mereka memanfaatkan keberadaan mereka dalam RI sebagai sarana untuk mensejahterakan rakyat Yogyakarta. Mereka punya hak istimewa, sultan memimpin mereka selamanya.

Bangsa Toraja mengikuti jejak dua bangsa ini. Kemudian bangsa-bangsa lainnya membentuk barisan. Mereka ada di belahan wilayah mana pun di Indonesia ini. Bahkan di Bomopakebo, sebuah desa kecil di kecamatan Mapiha, di pegunungan tengah Papua, yang barangkali tak tercantum namanya di peta Papua, ada orang Batak, Toraja, Buton, Bugis.

Bagaimana dengan bangsa Papua?

Bung Tomas pernah bilang ke saya ketika itu. Dan yang dia katakan hanya potongan kata-kata.

"Budaya itu tanah. Tanamlah bibit di atas tanah itu. Walau bibit yang ditanam adalah bibit modern yang datang dari Indonesia dan barat, dia tetap bunya roh Papua, karena ditanam, hidup dari sari budaya yang telah dijadikan tanah bagi tumbuhnya peradaban. Yogyakarta demikian."

"Belajar. Belajar itu kunci. Jadilah orang yang berpengaruh. Duduki dan rebut dengan cara yang berkualitas dan intelek, kursi-kursi yang semestinya bangsa Papua duduki. Dan bila sudah, rapatkan barisan, atur langkah untuk masa depan bangsamu."

Saya juga punya satu kalimat untuk diucapkan ketika itu kepada Thomas.

"Pendidikan menjadi jendela. Saya paham. Tapi, apa kau tahu, bagaimana realita pendidikan Papua yang hancur, dibuat hancur, dihancurkan?" Kalimatku ini hanya mampu keluar sampai di tenggorokan. SELESAI

Oleh, Topilus B. Tebai

Tidak ada komentar: