Rabu, 16 Juli 2014

Kejadian Istimewa


Di luar, langit masih mencurahkan tetes-tetes air. Kolong langit bagai terbuka lebar-lebar, dan hujan makin menjadi-jadi.

Bagi para petani di gunung, hujan adalah berkat. Kol, wortel, tomat, ubi, talas dan singkong yang mereka tanam di kebun-kebun mereka bagai menerima nutrisi dari surga. Hujan akan membuat biji jagung menjadi lebih sehat. Hujan membuat daun hijau menjadi lebih gelap, berisi. Hujan membuat debu yang menempel di daun, yang mengundang ulat pemakan daun jatuh berguguran seketika terbawa hujan.

Hal ini tidak bagi petani di pinggir sungai Mapiha. Malam hari, gemuruh air Mapiha pasti menyiksa hati. Ada kekuatiran, barangkali hujan membuat debit air sungai bertambah besar dan meluap, menyapu bersih kebun-kebun milik mereka di pinggir sungai Mapiha.

Aku masih duduk di pinggir kios ini. Hujan masih saja turun.

Depanku ada sebuah pasar. Pasar tempat mama-mama Mapiha datang jam 5 pagi untuk jualan. Di sini, di tempat aku berdiri, para penjaja dagangan duduk dengan manisnya menanti pembeli.

Kios tempat aku berteduh ini milik Mas Jun. Pria asli Jawa ini kukenal karena menjadi langganan ayahku dahulu. Sejak kecil, aku sering mengikuti ayah mengemudikan Strada sebagai satu-satunya transportasi darat yang menghubungkan daerah Mapiha, Moanemani, Obano, Paniai, Waghete, dengan Nabire, dan aku kemudian mengenal Mas Jun. Ayah selalu singgah di kios ini.

Mas Jun datang 10 tahun yang lalu, mengikuti pamannya yang telah lebih dahulu datang ke Nabire. Mas Jun tinggal di Nabire 1 tahun, dan kemudian datang ke Bomomani, membuka kios, dan menjadi penjual di sini.

Yang menarik perhatianku kini adalah seorang lelaki yang datang di bukit Bomopa, sebelah kiri tempat aku berada. Tepat di selatan sungai Mapiha.

Aku lihat jelas. Lelaki itu membawa seikat kayu bakar. Tubuhnya basah kuyup. Tanpa alas kaki, telapak kakinya begitu tebal dan kuat untuk ditembusi kerikil tajam yang dihamburkan di jalan untuk mengeraskan jalan. Kulihat, lelaki itu tidak lagi peduli dengan semua keadaan di sekitarnya.

Barangkali di benaknya ada bayangan akan masa depan: isteri dan anak-anaknya yang bahagia kala malam, karena kayu hasil jerih payahnya mampu memberikan kehangatan di malam hari. Bomomani memang dikenal dingin. Maklum, untuk sebuah ibukota kecamatan yang terletak di ketinggian seperti ini, dingin menjadi sesuatu yang pasti.

Atau barangkali ia sudah membayangkan makanan masakan isterinya yang hangat, yang akan mampu membuatnya bertenaga kembali. Entahlah, aku kini tak peduli lagi dengan apa yang dipikirkan lelaki itu.

Dia semakin mendekat, menuruni bukit Bomopa. Bercelana jeans lusuh, dengan kaos tentara, jelas terlihat tubuhnya yang kekar. Di depan kios, saya lihat lelaki itu berhenti untuk beristirahat. Hujan masih saja turun. Dia tampak tak peduli dengan hujan, juga tatapan kami semua, manusia-manusia yang berjubel di teras kios karena hujan.

Lelaki itu kini benar-benar menarik perhatianku. Dia membawa seikat kayu bakar itu menuju kios Mas Jun. Dia datang kepada kios yang di terasnya diriku berada. Aku pikir, lelaki itu ingin berhenti dahulu untuk membeli rokok, atau ingin belanja sesuatu.

Dari sampingku, lelaki itu memanggil nama Mas Jun.

"Mas Jun... Mas Jun.."

"Frans. Bagaimana. Kayunya sudah ya?"

"Iya. Ini."

Kemudian lelaki yang dipanggil Frans itu menunjuk kayu bakar bawaannya.

"Delapan ribu ya," kata Mas Jun sambil merogoh dompet hendak mengeluarkan uang simpanannya.

"Ah, ini kayu banyak. Hujan lagi. Saya su basah-basah ini."

"Terus, apa yang kau mau?"

"Sepuluh ribu sajalah Mas..."

"Akh, kayu ini kan bukan kayu berkualitas. Delapan ribu itu udah cukup, malah lebih."

"Ah, Mas, mengertilah..."

"Ya udah. Sembilan ribu ya? Oke?"

"Iyo sudah. Trapapa. Tapi sa ambil rokok satu batang ee, Mas, gratis..."

Begitulah dialog mereka yang aku dengar. Hatiku bergelombang. Darah di jantungku bagai ombak, sesekali memukul dinding-dinding hati, yang membuatku harus mengelus-elus dada. Aku tak kuasa memandang pemandangan yang seperti ini.

Dengan uang 9.000 rupiah itu, Frans membeli rokok anggur sebungkus, seharga 4 ribu rupiah. Kemudian ia membeli satu korek api dengan harga 2 ribu. Sisa 3 ribu kemudian dihabiskan dengan membeli kue donat yang dijual di kios Mas Jun.

Mas Jun dengan senang hati melayani. Kulihat senyum tercipta di bibirnya. Sementara Frans menggigil kedinginan sambil menikmati tarikan rokok. Barangkali Frans berharap, 6 buah kue donat tadi mampu membuatnya kenyang, dan asap putih yang hanya sedikit dikeluarkannya itu mampu menghangatkan tubuhnya dari dingin.

Tatapan matanya kosong.

Walau aku bukan sahabat sebangsanya, aku kemudian memberanikan diri mendekati dia.

"Ko kasih kayu bakar seikat yang besar ini cuma-cuma ini. Ini kayu bakar terlalu besar, tidak sebanding dengan uang 9.000 itu."

Frans menghela nafas saja. Aku menunggu tanggapannya. Dia tak bicara. Saya menunggu jawabannya barangkali 5 menit lebih di sampingnya. Melihat Frans tidak memberiku jawab, melihat kondisi tubuhnya yang kedinginan, aku tak tega berdiri di sampingnya berlama-lama.

Aku masuk ke kios milik sahabat ayahku, tepat di samping kios milik Mas Jun. Malam itu aku tak kuasa tidur hingga esok pagi, aku kaget mendengar deru mobil yang mengingatkanku pada wasiat mendiang ayahku untuk terus berjuang mencari hidup yang lebih baik.

Segera aku menuju Strada yang kini kukemudikan untuk mencari penumpang.

Aku bersyukur pada Tuhan, Dia berkenan membawaku ke tanah Papua, tanah surga ini. Dan dalam hati, aku berdoa buat bangsa hitam ini, pemilik negeri ini, sambil terus mengingat 'kejadian istimewa' depan kios Mas Jun. SELESAI

Oleh, Topilus B. Tebai

Tidak ada komentar: