Jumat, 18 Juli 2014
Kado Natal Buat Tuhan Yesus
Sebagaimana di bumi, di sorga pun para malaiakat berlomba untuk memberikan hadiah (kado) Natal yang terbaik buat Tuhan Yesus. Maka dari surga, diutuslah 3 orang malaikat untuk turun ke bumi mencari hadiah yang paling baik, guna dipersembahkan pada Tuhan Yesus di hari ulang tahunnya.
Malaikat pertama turun ke bumi, di sebuah kota besar, kota Jayapura, Papua. Tampak kota itu telah dihiasi, dengan berbagai hiasan Natal. Kehidupannya dinamis: di salah satu sudut, ada orang tertawa gembira. Di sudut yang lain, ada orang menangis berduka. Di sudut yang lainnya, ada orang berkumpul dan berdoa. Di sudut yng lainnya, aktivitas manusia dengan segala kepentingan mereka dilihatnya.
"Akh, lebih baik aku merekam salah satu lagu Natal dari Jayapura untuk dijadikan kado Natal buat Tuhan Yesus." Ia merekam lagu "Selamat Natal Papua."
“Tuhan, di hari ulang tahunMu, kupersembahkan rekaman lagu Natal, dari kota Jayapura, Papua. Kiranya Tuhan berkenan menerimanya," kata malaikat pertama.
“Baik, perdengarkanlah lagu itu.”
Perdebatan Cat
Panas terik membuat udara sangat panas di Nabire. Di Wisma Serikat Yesus, siang itu, aku berbaring di samping lukisan yang baru saja aku lukis. Aku akui memang indah lukisannya. Alat-alat lukis masih belum kubereskan. Sementara berbaring itulah, saya mendengar perdebatan alot mengenai siapa yang paling berguna dari alat-alat lukisku.
Awalnya, aku melihat mereka (alat-alat lukisku) memandangi lukisanku itu. Aku melihat mereka mengangguk-anggukan kepala. Dan, akhirnya perdebatan pun lahirlah.
Cat biru berkata: “Kalian semua, dengarkan. Karena aku ada, lukisan ini jadi begitu indah dilihat. Lihat. Langit biru yang indah kalian pandang, tidak akan seindah itu, bila Bastian tidak menggunakanku. Aku memang adalah warna terbaik, warna terindah. Kalian patut bersyukur, aku digunakan olehnya untuk melukis lukisan ini.”
Sometimes in December
Sehabis aksi bisu memperingati hari Trikora 19 Desember 1961, pada Selasa, 19 Desember 2012, siang, aku duduk di lantai aula asrama Kamasan I Papua bersama dengan kaka Sonny Dogopia. Ia duduk di samping saya. Teh manis yang masih hangat ada di depan kami, dengan gelas plastik kecil: cukup untuk membuat tubuh kami panas kembali, sehabis diguyur hujan selama 4 jam aksi.
Kaka Ana Maria telah berdiri di depan kami dengan satu toples kue. Ia sedang mengedarkan kue untuk dicicipi bersama teh hangat kepada semua yang duduk membuat satu lingkaran besar di dalam aula asrama.
“Bastian, pernah kau nonton film ‘Sometimes in April’ atau belum?” ia bertanya padaku. Di luar, hujan yang sedari tadi turun masih belum berhenti juga.
“Sudah kaka. Film tentang perang suku antara suku Hutu dan Tutsi di Rwanda itu to?”
Kamis, 17 Juli 2014
Siroa Simamor
Pada celah-celah berukuran sedang di dinding karang sebelah luar dari tanjung kecil yang nyatanya menyerupai naga raksasa sedang membuka mulut dengan gigi gigi tajamnya mencuat itulah, tersimpan puluhan tulang manusia. Ada tulang tengkorak, tulang kering, tulang paha, tulang rusuk, dan tulang lengan. Di depannya terbentang laut teluk Cendrawasih. Ia tenang bagai hamparan permadani biru.
Siroa Simamor, begitu aku menyebutnya ketika menulis sebuah tulisan tentang situs sejarah ini,ketika bersama sahabatku, Hery Tebay, didampingi guru Sejarah,Longginus Pekey, ikut dalam rombongan Lawatan Sejarah KabupatenNabire 2010. Aku ingat tanggalnya: 3 Mei 2010.
Situs Sejarah SiroaSimamor ada di pulau Moor. Pulau Moor, letaknya tak jauh dari bibir pelabuhan Samabusa Nabire, pada laut teluk Cendrawasih.
Aku bersyukur dipilih sekolah mengikuti kegiatan itu. Setiap sekolah di Nabire mengirim masing-masing 2 siswa dengan guru sejarahnya sebagai guru pendamping.Kami mengunjungi situs-situs sejarah yang berada di kabupatenNabire.
Andre: Musik Ekspresi Jiwa
Ketika SMA, aku menjumpai seorang lelaki Papua yang luar biasa. Ketika aku duduk di kelas XI IPS, dia baru duduk di kelas X. Kini ia telah menjadi siswa kelas XII IPA. Inilah kisahnya, yang kutuliskan ketika aku duduk di kelas XII IPS.
-------------------------------
Andre: Musik, Ekspresi Jiwa
Dengan lihai, jemarinya menari di atas dawai gitar. Alunan musik yang indah pun terdengarlah. Jemarinya terus menari, matanya terpejam, sepertinya ia sangat menikmati permainan musiknya. Dan lagu pun terdengar melengkapi indahnya petikan gitar tersebut: “terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru…”
Itulah penggalan sayair lagu hymne guru yang dinyanyikan lelaki Papua yang sering disapa Andre. Pemilik nama lengkap Andreas Corsini Miguel Takimai ini memang sejak kecil dikenal sangat dekat dengan dunia musik. Tidak heran, bila di sekolahnya, ia menjadi asisten guru kesenian, Rm. Yan Priyanto, S.J.
Andai Aku Seorang Indonesia
Alangkah senangnya hati ini, seandainya saya mendapat kesempatan dari Tuhan, sesaat saja, menjadi seorang Indonesia. Ya, andai saya menjadi orang Indonesia, dengan kulitnya yang sawo matang, dengan rambutnya yang lurus, dan berperilaku seperti bangsa Indonesia.
Maksud saya, menjadi orang Indonesia sejati, tidak memiliki percampuran darah, dan punya kedudukan terhormat dalam pemerintahan negara Indonesia.
Saya pasti akan bersorak sorai bila sampai pada bulan Agustus, dimana ketika hari yang kunanti-nantikan itu tiba, tanggal 17 Agustus, aku merayakan hari kemerdekaan bangsaku, Bangsa Indonesia.
Saya, bila menjadi orang Indonesia, akan dengan gembira memandang ke angkasa biru, tempat dimana akan kulihat sang Merah Putih berkibar. Dengan kagum, akan aku lihat bendera itu, dan akan kubanyangkan betapa para pejuang yang telah mendahuluiku berjuang demi kemerdekaan yang sedang kunikmati ini.
Di Papua ini, satu hal yang membuatku paling bangga sebagai bangsa Indonesia adalah ketika bangsa Papua pribumi, mereka ikut pula bersama kami, merayakan hari ulang tahun kemerdekaan kami.
Bahkan kadang, mereka, pribumi Papua, yang berkulit gelap dengan rambut mereka yang keriting itu, pada hari bahagia kami seperti 17 Agustus, merekalah yang menjadi pasukan pengibar bendera. Merekalah yang dengan paling kyusuk menghormati bendera Merah Putih.
Padahal, setahu saya, tak ada orang Papua pernah ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Tidak ada. Tapi, ya, itulah namanya penjajahan. Dan aku sudah turut di dalamnya.
Anak-anak SD, SMP, SMA, semua akan datang ke tempat upacara dengan membawa bendera Merah Putih mini. Sungguh, saya akan semakin bangga, andai saja saya menjadi orang Indonesia.
Namun, andai saya jadi orang Indonesia, rasanya, hatiku ini kurang enak. Saya berpendapat, kiranya kurang sopan, dan rasanya sangat-sangat memalukan dan tidak layak terjadi, bila kita, bangsa Indonesia, masih mengajak masyarakat pribumi Papua untuk turut merayakan, dan ikut bersorak sorai dalam perayaan kemerdekaan Bangsa Indonesia ini.
Saya merasa, kita Indonesia telah menyinggung perasaan halus akan kehormatan dan harga diri mereka, juga sebagai sebuah bangsa yang berbeda dengan bangsa Indonesia. Kita Indonesia, menurutku, pasti telah menyinggung kehormatan dan harga diri mereka, oleh karena kita di sini, merayakan hari jadinya negara kita, di tanah tumpah darah mereka yang justru kita jajah.
Andai aku seorang Indonesia, aku akan bertanya, apakah tidak terbayang dalam pikiran kita, bahwa budak-budak Papua itu juga mendambakan saat-saat seperti yang kita alami dan rayakan ini?
Seandainya saya orang Indonesia, saya tidak akan menerima kenyataan ini. Saya akan mengajukan protes terhadap gagasan peringatan ini di tanah jajahan.
Saya akan mengatakan kepada petinggi Indonesia, dan menulis di surat kabar, bahwa perbuatan peringatan kari kemerdekaan Indonesia di tanah Papua, yang melibatkan budak-budak Papua adalah tindakan yang salah! Karena kita telah menyinggung kehormatan dan harga diri mereka, budak-budak Papua itu sebagai sebuah bangsa.
Sayangnya, saya bukan seorang Indonesia. Saya hanya seorang anak negeri pulau Surga, Papua. Saya tetap berkulit hitam, berambut keriting. Saya bangga dengan semua yang ada padaku ini. Saya tetap adalah salah satu anak bangsa Papua, yang oleh Indonesia dipanggil budak-budak, dan diperlakukan layaknya binatang.
Aku tetaplah seorang terjajah yang kadang dipaksa mengenakan lencana putih, dengan pita Merah Putih terikat di pinggang, dengan peci hitam di kepala, akan mengibarkan Merah Putih oleh tanganku sendiri di atas tanah airku, sementara nurani Bintang Kejoraku yang bersemayam di lubuk hatiku yang terdalam menangis pilu. Saat itu, rasanya harga diriku hancur luluh.
Saya juga tidak kuasa memprotes. Saya takut mengatakan saya bangsa Papua, bangsa yang juga punya sejarah dan identitas. Saya takut mengatakan Bintang Kejora adalah bendera pusakaku, dan bukan Merah Putih.
Saya takut mengatakan, Kasih adalah dasar negara saya, dan bukan Pancasila. Saya takut mengakui menyanyikan lagi Hai Tanahku Papua, dan bukan lagi menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Saya takut mengakui semua yang menjadi milik bangsaku. Saya takut. Takut karena saya seorang budak dalam kacamata mereka, bangsa penjajah, yang kapan saja dapat mereka bunuh, aniaya, perkosa.
Saya takut memprotes demikian, karena saya tahu, Dr. Thomas Wanggai meninggal di penjara Cipinang, hanya karena bersikap sepertiku saat ini. Dortheys Hiyo ELuay dibunuh Kopasus, juga karena bersikap sepertiku. Musa Mako Tabuni, Hubertus Mabel, Kelly Kwalik, dibunuh militer Indonesia, hanya karena memilih bersikap sepertiku.
Aku memang telah terlanjur dibuat menjadi takut. Takut bernasib sama seperti Filep Karma yang masih mendekam di penjara Penjajah. Bernasib sama seperti Victor Yeimo, Selpius Bobii, Buchtar Tabuni, Forkorus Yaboisembut, mendekam di penjara penjajah.
Saya takut, karena apabila saya tunjukan jati diriku yang sebebarnya, saya akan mengikuti nasib pendahuluku.
Saya akan dianggap hina, manusia separatis, pemberontak, yang akan disalahkan segenap pemerintahan, hukum, dan dari seluruh rakyat mereka yang telah didoktrin dalam kurikulum pendidikan mereka melalui pengajaran sejarah rekayasa. Mereka akan mencemooh dan mencaci saya melalui surat kabar milik mereka.
Mereka, bangsa Indonesia, tidak akan pernah sadar, bahwasanya merekalah yang harus merasa diri telah menjadi pencuri, perampok, penjajah, yang datang ke negeri milik bangsa lain, yang tak lain adalah negeriku. Menghancurkan segala tatanan hidupku, memaksaku mengikuti sistemnya yang menjeratku sendiri, hingga membuatku menjadi patung hidup di depan saluran eksploitasi semua kekayaan alamku. Membuatku tanpa banyak kata menjadi anjing penurut, yang dapat melakukan apa saja yang mereka perintahkan.
Saya menjadi takut, karena bila kutunjukkan jati diriku sebenarnya, aku akan dibunuh atas dasar hukum oleh Indonesia, negara yang datang memerintah dan mengeksploitasi negeriku ini.
Tetapi, bila saya tetap takut, sampai kapan? Juga, bila saya berkata jujur, bukankah harga sebuah kejujuran dalam konteks ini adalah kematian, yang tentu akan dilegalkan oleh hukum penjajah, yang saat ini berlaku atas kami?
Oh, Tuhan, tolonglah kami. Kami benar-benar terjepit!
Oleh, Topilus B. Tebai.
Dia Adik Kandungku
Kelap-kelip lampu Karaoke ini tidak mengizinkan mataku untuk terus membaca kata demi kata pada secarik kertas kusam yang kini ada di depan mataku. Surat dari Ibu kali ini cukup panjang. Biasanya, Ibu selalu memberiku nasehat.
Jangan begini, harus begitu. Ini sesuai, ini tidak. Ini boleh, ini harus dihindari. Itu tidak diizinkan, yang ini boleh. Pokoknya macam-macam. Sering aku pikir dalam hati Ibuku terlalu bawel. Suka mengatur dan menegur.
Kadang juga aku berpikir, aku tidak dihargai sebagai seorang lelaki dewasa. Umurku sudah 35 tahun. Aku sudah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, duduk di kursi agung itu. Aku bekerja pada gedung mewah, ber-AC, dengan fasilitas kerja yang serba wah. Itu artinya, aku sudah bisa mengatur hidupku sendiri. Sudah begitu, Ibuku malah menasehati aku, ini dan itu. Repot!
Namun, bagaimana pun juga, aku harus membacanya tuntas. Barangkali ada informasi penting yang akan disampaikan Ibu. Maklum, Ibu jarang berkirim surat. Walau kami sepulau, Ibuku masih tinggal di kampung. Ini bukan salahku. Sudah aku minta Ibu tinggal di apartemen yang aku beli dari hasil kerjaku di DPR.
Ya, biasalah, orang kampung. Lebih ingin di kampung dengan fasilitas yang serba terbatas daripada tinggal di apartemen mewah punyaku.
Aku sendiri belum pernah pulang ke kampung sejak aku selesai kuliah, mencalonkan diri menjadi anggota DPR, dan bekerja pada lembaga ini. Aku hanya bisa mengirim uang secukupnya buat Ibu, Markus, adikku lelaki yang menjadi petani di kampung, juga untuk biaya pendidikan dan kebutuhan Anita, adik perempuanku satu-satunya.
Namun aku juga masih bisa mengerti Ibu. Dia sudah lahir di kampung itu, dan tak ingin sedikit pun berpikiran pindah dari tanah tempat ia tinggal. Entah apa alasannya. Dalam surat kali ini, Ibu hanya menjelaskan panjang dan lebar soal adik perempuanku, Anita.
Rupanya ibu cukup kuatir dengan perubahan yang mulai ditunjukan oleh Anita. Katanya, Anita sudah mulai berdandan aneh. Pakaiannya sudah model you can see. Koleksi pakaiannya sudah berbagai motif. Lipstiknya, bedaknya, pokoknya, soal make up, semua telah lengkap.
Bahkan, kata Ibu, Anita sudah memunyai kamar rias sendiri di rumah. Aku sudah mulai geram membaca surat dari Ibu. Setiap kali aku kirim uang untuk biaya pendidikannya. Juga untuk kebutuhan hidupnya. Semua itu aku buat, hanya supaya adik perempuanku satu-satunya itu, ia dapat menjadi perempuan yang perkasa. Setidaknya, lebih perkasa menghadapi hari esoknya. Anita itu, adik perempuanku sendiri, malah mempergunakannya untuk hal-hal yang tidak aku kehendaki. Gila!
Aku harus melanjutkan lagi membaca. Ibu kemudian mulai merasa cemas, karena Anita sudah mulai pulang malam. Bahkan, kata Ibu, sudah sejak 3 hari yang lalu, Anita sudah tidak tinggal lagi di rumah. Kata Ibu, dia dibawa pacarnya, seorang anak bangsawan dari Negeri Barat.
Aku geram. Hatiku benar-benar mendidih. Aku tidak terima adikku dengan tindakannya demikian. Di akhir-akhir penjelasan Ibu mengenai Anita, Ibu menjelaskan bahwasanya semua perubahan itu juga adalah pengaruh pacarnya itu. Kata Ibu, dirinya sudah memperingatkan Anita perihal lelaki kebanyakan. Mereka, para lelaki, selalu saja menunjukkan yang terbaik dari semua yang mereka miliki. Mereka hanya mengincar yang berharga dari diri perempuan. Bila itu sudah benar-benar menjadi milik sang lelaki, barulah akan kelihatan sifat mereka yang asli.
Akh, aku gulung saja surat itu, kumasukkan saja di dalam tas. Lampu kelap kelip di tempat Karaoke ini cukup menghibur suasana hatiku.
Jarum jam terus berputar. Beberapa teman DPR telah bergandengan tangan bersama para wanita penghibur. Ketika aku masih duduk dengan gelas anggur merah di tangan, seorang wanita muda mendekat.
Pakaiannya bukan pakaian wanita penghibur. Tapi jelas, dia bukan juga pengunjung. Pakaiannya sederhana. Tatapan matanya tajam. Sejak masuk melalui pintu utama, gadis itu langsung menuju tempatku.
Gadis itu mendekat, duduk di sampingku. Aku akui, dia gadis yang cantik, anggun. Begitu cepat ia membius akal sehatku dengan kecantikannya. Begitu lentiknya jari menjalari dadaku, menyentuh ujung-ujung nadi, membuat darah mengalir kencang. Aku sudah hanyut.
Beberapa jam setelahnya, aku tersentak kaget. Aku seakan baru menyadari semua yang telah aku lakukan. Akh, tidak. Aku segera bangun dari ranjang. Perempuan itu sudah tidak ada lagi di sampingku.
Segera aku berpakaian, ke luar kamar. Di bawah, di tempat Karaoke, pengunjung masih ramai. Aku segera menuruni lift, dan segera meminta izin teman-teman untuk terus ke tempat penginapan.
Di atas bus, wajah wanita itu terus terbayang. Caranya memandangku, cara jalannya, lekukan wajahnya. Mengingat wanita di tempat Karaoke itu, aku jadi ingat wajah adikku. Rambutnya yang hitam keriting, kulitnya yang hitam manis..., "Tuhan, itu adikku..," Begitu mirip.
Benar, mirip.
"Tuhan..," suaraku tertahan.
Aku hanya mampu memegang dahi. TAMAT
Oleh, Topilus B. Tebai
Rabu, 16 Juli 2014
Sang Pahlawan
Tiap Minggu sore, lelaki paruh baya itu selalu ke Gereja. Orang-orang di kelilingnya cukup menghormati dia, terbukti dari cara mereka menyapa. Bahkan, ada warga yang telah dengan berani menyebutnya pahlawan.
Lelaki itu bernama Modestus. Perawakannya biasa. Yang membuatnya luar biasa adalah sorot matanya yang tajam, alis mata yang tipis panjang, dengan tampangnya yang berwibawa, dia terlihat sebagai seorang lelaki yang istimewa.
Modestus hanya seorang penduduk desa biasa. Sekitar 3 tahun yang lalu, desanya kedatangan sebuah perusahaan raksasa. Perusahaan itu akan bergerak di bidang pertambangan Emas. Memang, sejak dahulu, penduduk di situ sering mendulang dengan alat-alat tradisional untuk dijual agar hasilya dapat menambahi anggaran belanja rumah tangga mereka.
Kemudian beberapa peneliti dari Dunia Barat datang ke Desa. Mereka meneliti, katanya untuk studi kelayakan air dimana mereka biasa mencari emas dengan cara tradisional. Mungkin emas yang terpendam di balik tanah, beberapa meter di bawah sungai di Desa ini memikat hati mereka.
Bangsa Barat kemudian membuat rencana, membuka usaha tambang di Desa. Mereka mengajukannya ke pemerintah dan pemerintah menyetujui.
Pernah warga desa dikumpulkan oleh Kepala Desa dan beberapa pengurus Desa di Balai Desa. Mereka mengumpulkan warga hanya untuk menyosialisasikan akan adanya perusahaan emas yang masuk.
"Warga akan kaya-raya. Kita akan dipekerjakan di perusahaan Emas, dengan gaji tiap bulan yang tinggi. Perusahaan akan membawa dampak positif yang besar bagi hidup kita," kata Kepala Desa.
"Benar. Emas milik kita tidak akan sia-sia. Semua akan dikelola dengan baik. Dengan datangnya persahaan, akan ada listrik yang akan dialirkan dari rumah ke rumah hingga Desa kita terang siang dan malam, bebas pungutan," kata pengurus Desa yang lain.
Juga kata yang lain, Air bersih, sekolah, dan rumah sakit akan didirikan di kampung kita, bila perusahaan Pertambangan Emas masuk.
Menurut Kepaa Desa ketika itu, warga desa akan dipekerjakan berkisar 70% dari total karyawan yang dibutuhkan perusahaan. Itu, kata Kepala Desa, untuk mengangkat taraf hidup warga Desa sebagai pemilik hak ulayat tanah dimana perusahaan perdiri.
Perusahaan itu sudah 3 tahun masuk. Kini, apa yang terjadi? Semua yang digembar gembor saat kampanye di awal masuknya Perusahaan Pertambangan Emas itu hanya mimpi yang akan terus menjadi mimpi. Bagaimana tidak, warga yang bekerja di perusahaan itu hanya 20%. Itu pun hanya pekerja kasar di lapangan, yang sarat dengan resiko kerja dan berbahaya. Masyarakat yang lain menganggur, tidak bekerja, karena lahan pertanian mereka yang di pinggir sungai telah dipatok perusahaan sebagai areal pertambangan.
Air bersih yang dijanjikan belum terealisasi, apalagi listrik. Benar, ada Pembangkit Listrik Tenaga Air yang dipasang perusahaan di kampung mereka. Tetapi itu hanya untuk perusahaan, Kepala Desa dan beberapa staf desa. Hanya untuk mereka.
Kehidupan desa yang dulu aman, tiba-tiba berubah. Di desa mereka, didirikan tempat Karaoke. Ada Bar. Ada juga tempat Billiar. Ada tempat Pekerja Seks Komersial. Desa mereka jadi pusat peredaran minuman keras. Seharian, para pemuda desa menjadi malas bekerja. Ingin terus nongkrong di Bar, tempat Billiar, sambil meminta-minta karyawan tambang, atau dari merampok dan mencuri.
Harga barang terus naik. Warga tak mampu membelinya lagi, dan karenanya harus mendulang secara tradisional di tempat pembuangan limbah tambang. Walau hasilnya sedikit, biaya hidup yang mulai mahal menuntut mereka harus bekerja, menghasilkan uang.
Penyakit menular juga mulai muncul. Awalnya kudis. Kemudian ada beberapa jenis penyakit yang sulit dideteksi mucul. Penyakit penyakit yang baru bermunculan ini sangat berbahaya. Sementara rumah sakit yang ada hanya melayani para karyawan pertambangan.Penyakit dan analisis dampak lingkungan ditak menjadi tanggungjawab perusahaan.
Rumah sakit untuk masyarakat, ada, tetapi mereka harus mengeluarkan uang yang sangat tinggi.
Sebenarnya bila ditelisik, penyakit ditimbulkan akibat warga masih menggunakan air limbah untuk kebutuhan sehari-hari, karena tidak ada sumber air bagi mereka.
Moral warga desa juga mulai hancur. Adat istiadat desa jelas sudah jauh ditinggalkan. Pembangunan yang dijanjikan hanya mimpi di siang hari. Yang terjadi, hanya Kepala Desa dan para staf yang semakin kaya.
Pernah ada protes dari masyarakat, dipimpin oleh Angganita, seorang lelaki tegap kuat, dengan sorot matanya yang tajam, bersama anaknya, Symson. Namun Angganita hilang secara misterius dari kampung.
Kabar yang beredar mengatakan, Angganita sempat diundang oleh Kepala Desa untuk berunding pada jam 12 malam. Dan sejak itu, jejaknya tidak ditemukan. Polisi dan petugas telah menyusuri seluruh lorong desa, mencari dari rumah ke rumah, di lingkungan sekitar desa, Angganita tidak ada.
Setelah Angganita hilang, perlawanan rakyat berpindah ke anaknya, Symson. Modestus, lelaki paruh baya itu menggabungkan diri. Dengan kepiawaiannya berbicara, dengan bekal Ilmu Hukum yang dimilikinya, Modestus ditakuti perusahaan, Kepala Desa dan beberapa pelindung perusahaan lainnya.
Berlahan, gerakan perlawanan warga desa menjadi semakin kuat. Semua berkat Modestus yang seakan memunyai daya tarik. Ia menghimpun semua lapisan masyarakat, dan memberikan pemahaman, bahwasanya sementara Perusahaan Emas itu masih bercokol di daerah emreka, kehidupan ini akan terus demikian. Pilihan hanya 2, perusahaan memperhatikan tuntutan mereka, atau perusahaan angkat kaki dari Desa.
Kepala Desa bahkan sampai mengancam Mosestus untuk tidak memberontaki perusahaan, tetapi Modestus nekat.
Kini, di desa, Modestus adalah sosok pembela rakyat yang membawa secercah harapan. Dia adalah pejuang dan pahlawan yang hidup. Bagi perusahaan Emas itu, Modestus tidak lebih daripada duri dalam kerja perusahaan mengeksploitasi emas di Desa, yang harus segera disingkirkan, demi laba dan laba.
***
Malam yang gelap. Dingin menusuk sendi. Langit diselimuti kabut hitam, malam benar benar hitam. Pohon Cemara dan Mahoni di jalan masuk desa begitu tenang, bergerak sedikit pun tidak. Mereka tampak ketakutan.
Bulan juga enggan menerangi. Bulan jelas ketakutan, bersembunyi di balik kabut.
Dari jalan itu, derap langkah orang berlari jejas terdengar. Lelaki itu mengenakan pakaian serba putih, membuat ia menjadi terang di tengah gelap. Tangannya menenteng sesuatu. Dia adalah Angganita, pimpinan pemberontakan rakyat yang hilang dua minggu yang lalu. "Tuhan.., apa yang di tangan Angganita?" Sebutir kepala manusia!
"Lihatlah, ini kepala pimpinan Perusahaan Emas di Desa kita."
Angganita mengangkat kepala itu tinggi-tinggi. Bagai halilintar di tengah langit pekat, pekikan heroik Angganita kemudian membahana dari mulutnya.
Ia kemudian memandang Modestus. "Kemari Modestus, jangan takut.., berpikirlah dahulu sebelum bertindak!"
"Aaakh... ."
Modestus segera bangun dari tidurnya. Istri dan dua anaknya masih tertidur pulas. Dilihatnya jam dinding, tepat jam 12 malam.
Modestus mimpi lagi. Sudah lima atau enam kali ia telah bermpi dengan alur yang sama. Setiap malam ia bermimpi yang sama. Modestus benar-benar bimbang, apa arti mimpinya itu.
Berlahan, ia berjalan ke beranda rumah. Sambil menenteng segelas air putih, ia kemudian meneguknya setelah duduk di kursi depan, dan kemudian merenungkan apa arti mimpi itu.
Beberapa saat Modest duduk berdiam diri. Di luar, ia merasa ada orang yang datang mendekat. Langkah kakinya, walau pelan, cukup bergema di telinga Modest. Beberapa saat kemudian, pintu diketok.
Modestus membuka pintu. Ternyata Anton, orang yang paling dipercayainya dalam perjuangan warga Desa mengusir kapital. Ia datang dan berbisik kepada Modest.
"Angganita memanggilmu."
"Saya? Dari Angganita?" tanya Modest ragu.
"Sekarang?"
"Iya."
"Dia masih hidup?"
"Iya. Dia di seberang sungai. Cepat bersiaplah."
Modest segera menuju kamar tidur. Didapatinya istri dan anak-anaknya. Entah apa yang dipikirnya, ia mencium kening Istri dan anak-anaknya, menarik sebilah parang di samping meja, dan mengikuti langkah Anton, ke luar.
Mereka menyusuri jalan setapak. Setelah menyeberangi sungai, Anton berhenti.
"Lihatlah di seberang sana, di bawah pohon Beringin besar itu. Dia Angganita. Dia sedang menunggumu," kata Anton.
'Kita bersama menemui beliau," desak Modestus.
"Tidak. Aku ditugaskan hanya untuk mengantarmu. Kata Angganita, ini berita penting dan rahasia. Saya tidak diizinkan datang."
Modest melangkah menuju tempat yang ditunjukkan. Benar, seorang manusia seperti berdiri di sana. Dengan langkah pasti, Modestus melangkah. Dari dekat, diciumnya bau darah.
Modestus menerangi sosok orang itu dengan senter yang dibawanya. Ternyata.., "Tuhan.., Angganita..," Angganita baru saja dipotong lehernya. Kepalanya hampir terputus dari leher. Angganita sudah tidak bernyawa. Ketika Modestus hendak lari kembali, sebuah senter besar menerangi wajahnya.
Gabungan militer dan petugas keamanan desa dan Perusahaan Emas itu telah mengepungnya.
"Modestus, lekas menyerah. Kau tertangkap basah membunuh seorang tokoh masyarakat, Angganita. Segera letakkan perangmu, dan angkat tangan. Kau tidak akan disakiti. Kami hanya akan memprosesmu dengan hukum yang berlaku di negeri ini," begitu perintah Kepala Desa dari balik semak.
***
Desa itu kembali geger. Seorang pemimpin gerakan perlawanan rakyat Desa, Modestus, kembali hilang secara miterius, seperti pendahulunya, Angganita. Penduduk bersama aparat gabungan telah mencari dari rumah ke rumah, di setiap lorong desa, di hutan sekitar desa, Modestus tidak ditemukan. TAMAT.
Oleh, Topilus B. Tebai
Daun di Batang Pohon
Ini kisahku. Kisah yang mungkin tra akan ssa lupa, yang selalu ssa ingat dengan terus menyesal, karena ssa pu diri ini tra mampu lebih brani, beberapa detik saja, untuk ssa mo katakan bahwa ssa benar-benar suka sama dia.
***
Ada satu wanita, dia adalah cintaku yang pertama. Dia punya wajah yang cantik, kulit yang hitam manis agak kemerahan, passs skali dengan dia pu kulit yang cokelat hitam. Dia Gadis Papua yang cantik alami.
Jujur saja, ssa suka dia. Pandangan pertama, hanya itu, dan hatiku luluh, bergetar. Dia seorang yang serius mendalami agama, jujur, dan apa adanya. Itu juga adalah sifat-sifat yang aku sukai.
Apakah ini salah atau tidak, ssa tratau. Yang jelas, waktu itu, saya kurang percaya diri untuk bilang, "Ade, kaka sayang ko." Saya masih malu dan canggung untuk mengatakan ssa suka dia.
Dia brikan untukku perhatian yang lebih. Berusaha tetap dekat denganku, dan dengan tegar berdiri di sampingku saat semua meninggalkanku, di saat-saat kelamku. Bagiku, dia adalah malaikat penolong yang diutus Tuhan untukku.
Interaksi kami dekat. Dia selalu memanggilku sobat. Saya juga membalasnya dengan panggilan serupa. Dia memperlakukanku lebih dari seorang sobat. Sama juga perlakuanku padanya. Tapi kami sobat.
Waktu itu, ada satu gadis mendekat, mengirim sinyal cinta padaku. Aku meresponnya positif. Kmai jadi. Waktu itu, aku berduaan dengan dengan pacarku di samping sekolah. Aku tak menyangka, sobatku itu akan melihat kami berduaan. Sobatku itu hanya tersenyum padaku dan pada pacarku, dan kemudian pergi.
Esok hari, kulihat pelipis mata sobatku itu bengkak. Matanya merah. Dia terlihat seperti habis menangis. Aku kira, aku telah menyakitinya, karena aku yakin, dia mencintaiku.
Aku segera disibukan dengan pelajaran, ekstra, dan teman-temanku. Pulang sekolah, ketika aku pulang bersama pacarku itu, Sobatku datang dari belakang, mencubit perutku keras-keras, dan lari sambil tertawa meninggalkan aku bersama pacarku.
Saya segera menemukan cinta kedua. Pertama putus. Yang baru ini lebih cantik dari sobatku dalam wajah. Tetapi soal keberanian, agama, kejujuran, sobatku lebih sempurna.
Pulang sekolah, aku mencium kening pacarku. Ketika menoleh, sobatku itu sudah di sampingku. Tanpa kata, dia terus melangkah. Aku memanggilnya. Kali ini, sobatku terus jalan. Kali ini, aku merasa bersalah.
Esoknya, mata Sobatku kembali kemerahan. Pelipis matanya bengkak. Wajahnya kelihatan habis menangis. Siangnya dia kembali ceria, mencubit perutku seperti biasa dari belakang, dan terus lari tingalkan aku sendiri yang meringis kesakitan di dalam kelas.
Pacar kedua memutus hubungan denganku. Ketika hatiku tidak bergairah, malaikat penolongku datang. Dia Sobatku. Dari jauh, wajah ceria yang ia buat sudah mumpu menggodaku. Senyumnya mekar. Dia duduk di sampingku.
"Sobat, pacarku memutuskan hubungan kami. Saya tidak paham dengan keputusannya.."
Untuk menguji cintanya, kemudian aku melanjutkan. "Sobat, sa saat ini su dikejar-kejar seorang perem. Ssa kira perem itu juga cinta Ssa." Perempuan dalam ungkapanku itu adalah dia, sobatku itu, yang saat ini duduk di sampingku ini..
Sobatku itu menunduk. Ketika dia melihatku, mukanya mendung. Ketika kukerutkan kening, dia dengan segera kembali cerah.
"Baguslah.Saya juga ingin belajar tidak mengharapkan cinta dari seorang yang aku cintai. Aku ingin membuka sedikit pintu bagi dia, teman kelas kita. Dia telah menyatakan cinta padaku 7 kali." Dia sobatku, dia bidadariku yang ssa kagumi. Saat ini, mungkin dia tidak sadar, bahwasanya dirinya telah mengeluarkan kata-kata yang teramat pedas didengar telinga hatiku.
Yang lebih menyakitkan adalah bahwa dengan entengnya dia mengucapkan itu sambil tersenyum. Padahal, aku disini mencintainya. Sobatku itu berdiri, mengedipkan mata pada diriku yang sudah semakin hancur, dan dia kemudian pergi.
Aku tersentak. Ada rasa cemburu menjalari hati. "Sobatku, saya mencintaimu. Mengapa kau memutuskan seperti itu?" kemudian ada suara lain dari dalam hati menyakut, "Mengapa kau sakiti aku dengan menerima cinta dari dua gadis itu? Aku hanya sekali mengatakan aku ingin menerima cinta dari yang lain. Sakit kan? Aku sudah berlipat ganda merasakannya."
"Aku sadar, aku tidak sedari awal mengatakannya. Aku sadar, aku terlalu tidak percaya diri mengatakan saya cinta ko. Saya menyesal, dan yang harus kau tahu, ini luka yang tak akan sembuh sampai nanti."
***
Aku punya seorang teman kelas. Dia lelaki terganteng, sopan, ceria, dan jujur, dan perhatian padaku. Sedari awal, sejak pandangan pertama, aku suka dia.
Kami duduk sekelas. Ketika teman perempuanku sebangku dicintai dia yang kukagumi, ada perasaan aneh menjalari tubuhku: cemburu! Namun aku juga mencintai sahabatku, dia yang kini lebih berhasil menerima cinta dari dia yang kukagumi.
Hati benar-benar hancur ketika melihat mereka berduaan. Sepanjang malam aku menangis. Aku katakan berulang ulang dalam hati sambil menyebut namanya, "sayangku, aku mencintaimu. Tidak cukupkah tandaku padamu agar kau tahu aku mencintaimu? Tidakkah kau mengerti bahwa aku mencintaimu?"
Dia putus dengan pacarnya pertama. Aku gembira. Namun esoknya aku sadar, dia sudah memunyai penggantinya. Hati kembali sakit.
Kadang saya berpikir, dia mengerti bahwa saya mencintainya. Dia memanggilku Sobat, seperti saya memanggilnya, tetapi perlakuannya padaku lebih dari sekedar Sobat. Aku juga demikian. "Tapi, mengapa dia tidak memulainya mengatakan, dia mencintaiku, sama seperti yang diucapkannya pada temanku?" Akh, aku rindu saat-saat itu, dimana dia yang kukagumi mengatakan bahwa dia mencintaiku.
Sambil menyebut namanya, kadang aku dengan sedih berkata, "Sobat, ko tra harap ssa yang seorang wanita ni sbagai orang pertama untuk menyatakan cinta to? Ko lelaki ka tidak! Kenapa ko tra mulai dan bilang?"
Saya tetap berada di samping dia, terutama di saat-saat dia kesulitan, dimana pacar dan teman-temannya yang musiman itu meninggalkannya. Ini caraku untuk mengatakan, aku benar-benar mencintainya. Saya tetap berharap, suatu hari nanti, dia jujur pada dirinya, dan dengan berani mengatakan, i love you.
Puluhan pria telah datang mendekat. Aku tepis mereka. Bagiku, dia lebih dari semuanya yang datang. Di antara puluhan itu, aku mengagumi kegigihan seorang lelaki. Dia temanku sekelas, dan dia dengan tabah mencintaiku. Aku kagumi dia, karena dia mencintaiku saat aku tidak mencintainya, dan berusaha hadir di saat-saat dukaku.
Aku punya pengalaman yang sama, pernah merasakan pahitnya mengejar cinta dari orang yang tidak ingin bersama kita. Saya mencoba membuka sedikit pintu buatnya di hatiku.
Ibarat sebuah pohon, aku ibarat daun yang ingin tetap hidup menempel di tubuh pohon. Sobatku yang sebenarnya adalah yang kuanggap lebih pantas bersamaku, mendampingiku, dia batang pohonnya. Sementara dia yang aku kagumi, yang baginya pintu hati sedikit kubuka, dia bagai angin yang semakin kencang menerpaku, mencoba melepasku dari pohon, untuk membawaku lari jauh.
Aku mulai sadar, suatu saat nanti, Angin ini akan membawa diriku, Daun yang mulai lusuh ini, jauh dari Sang Pohon, tempat harapan dan asa kuruncingkan.
***
Akhirnya ssa benar-benar lepas. Angin lebih berhasil melepaskan ssa. Mungkin karena hanya ssa yang berusaha tetap bertahan pada sang Pohon, sedang sang Pohon tidak menginginkan aku bersamanya.
Ketika aku dibawa lari sang Angin, Pohon hanya tersenyum padaku. Air mataku jatuh. Bukan karena aku menyesal tidak bersamanya nanti, tetapi karena senyumannya itu. Dia tersenyum sangat manis kala aku dibawa jauh darinya, dan ini menghancurkan batinku, terutama saat kuingat perjuanganku mendapatkannya.
Oleh, Topilus B. Tebai
Aku Penguasa Dunia
Mimpiku satu sejak aku lahir, kira-kira 200 tahun yang lalu: menguasai dunia. Cikal bakal kelahiranku sebenarnya jauh sebelum itu. Ini barangkali tak penting untuk diurai. Yang terpenting, kini, aku menjadi penguasa dunia.
Barangkali anda bertanya, "Siapa kau yang bermimpi setinggi langit menguasai dunia?" Panggil aku kapital. Dan... itu nama populerku.
Awalnya, kupengaruhi dunia dengan teoriku, bahwa tanpa akumulasi kapital, kesejahteraan yang diimpikan dunia hanya mimpi. Ketika teoriku diamini dunia, lalu aku berpikir, bagaimana aku menciptakan sebuah mesin penyedot uang. Aku rintis mesinnya, dan kunamai dia, Bank. Dengan mesin ini, kusedot semua uang yang berkeliaran tak tentu arah.
Uang yang disedot bank aku buka pintu hanya bagi mereka yang mampu memenuhi ketentuan pinjaman dari bank, yakni siapa saja, perorangan atau badan usaha yang mampu dan menjanjikan untuk mengembalikan uang sedotanku dengan bunga yang kutentukan. Dan aku tahu, hanya anak-anakku, kaum kapitalis, merekalah yang akan datang meminjam untuk membuat perusahaan mereka menjadi lebih besar lagi.
Aku belum merasa cukup. Aku cari cara lain. Targetku menguasai dunia masih di awan-awan.
Aku renovasi mesin penyedot uangku yang lama, bank, kemudian kunamai dia, Pasar Modal. Dengan pasar ini, anak-anakku kapitalis cukup mencetak kertas-kertas saham untuk dijual kepada masyarakat, dengan pemberian deviden.
Kau pasti bertanya, "Siapakah yang memanfaatkan keberadaan pasar modal ini?" Dengan persyaratan untuk menjadi pelaku pasar, lagi-lagi hanya anak-anakku, perusahaan besar dan sehat saja yang akan dapat menjual sahamnya di pasar modal ini. Siapa mereka? Kaum kapitalis!
Aku masih belum puas. Aku terus memutar otak mencari cara baru. Akh, daripada pikir banyak, pikirku, lebih baik kumakan saja perusahaan-perusahaan kecil yang kadang menjadi duri dalam pencapaian impianku, menguasai dunia.
Jika di suatu wilayah banyak terdapat toko milik pengusaha kecil, cukup aku bangun sebuah mall yang besar. Dengan itu, kutarik pembeli, dan toko-toko itu akan tutup dengan sendirinya. Aman kan? Kugunakan dua mesin penyedot uangku, perbankan dan pasar modal, mendukung usahaku yang ketiga ini.
Selain aku, banyak perusahaan lain. Dan aku pikir, aku harus mampu memenangkan persaingan pasar. Aku tahu, persaingan pasar hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang dapat menjual produk-produknya dengan harga yang paling murah. Aku kemudian memutar otak.
Daripada pusing, kugunakan saja cara simple: kuasai bahan baku. Di mana-mana, perusahaan pertambangan, bahan mineral, kehutanan, minyak bumi, gas, batubara, air, dan sebagainya kusebar bagai jamur. Mereka saling melengkapi, terus mencari tempat penghasil bahan baku, dan jaringan kekuasaanku makin luas. Aku masih mengadalkan dua mesinku, perbankan dan pasar modal, sebagai alat bantu. Serasi. Kerja yang profesional!
Ketika itu, satu masalah muncul. Setiap bangsa punya negara. Mereka punya aturan. Bagaimana aku menyamar?
Gampang. Aku berusaha mencaplok perusahaan milik negara yang umumnya menguasai sektor-sektor publik, seperti telekomunikasi, transportasi, pelabuhan, keuangan, pendidikan, kesehatan, pertambangan, kehutanan, energi, dan yang lainnya.
Setelah menyusup masuk, memasang kuda-kuda, segera kudorong lahirnya Undang-Undang Privatisasi BUMN. Dengan lahirnya UU baru ini, kucaplok BUMN. Aku masih tetap gunakan dua mesin pembantu setiaku, perbankan dan pasar modal.
Karena telah masuk dalam sistem, aku pikir, lebih baik aku masuk di dalamnya. Aku coba masuk ke sektor kekuasaan itu sendiri. Pikirku, diriku dan anak-anakku, kaum kapitalis, harus menjadi penguasa, sekaligus sebagai pengusaha.
Biaya kampanye? Ahahahaa .., jangan kuatir. Aku raja modal. Aku adalah Kapital. Kugunakan dua mesin pembantuku, perbankan dan pasar modal, mendukung aksiku.
Pulau-pulau kukuasai. Satu masalah lagi muncul. Namun aku masih rasional. Masalahnya, bila aku hanya memasarkannya dalam wilayah kekuasaanku, maka aku semakin kehabisan konsumen. Aku malah tersenyum menghadapi masalah ini. Impianku menguasai dunia tinggal selangkah, malah kusadari itu ketika masalah ini mendekat.
Aku coba ekspansi pasar di negara-negara miskin dan berkembang yang padat penduduknya. Caranya adalah dengan menciptakan organisasi perdagangan dunia yang mau tunduk pada ketentuan perjanjian perdagangan bebas dunia, sehingga semua negara anggotanya akan mau membuka pasarnya tanpa halangan tarif bea masuk, maupun ketentuan kuota impornya (bebas proteksi). Enak bukan?
Dengan taktikku yang satu, aku menguasai setengah dunia. Negara-negara berdaulat menjadi daerah jajahanku. Dua mesinku, perbankan dan pasar modal, mereka masih tetap kuandalkan.
Kini, aku mulai berpikir, bagaimana membuka anak perusahaan di negara-negara yang menjadi obyek eksporku.
Dengan langsung berproduksi di daerah-daerah jajahanku, biaya produksi murah. Transportasi benifit. Harta jual rendah. Akhirnya kukuasai konsumen di derah-daerah jajahan. Dua mesinku, perbankan dan pasar modal, mereka berperan besar dalamnya.
Aku belum puas. Aku ingin menguasai dunia, dan capaianku saat ini kurasa masih belum cukup. Aku mulai lagi memeras otak.
Dengan memakai boneka-boneka milikku di kursi birokrasi masing-masing jajahanku, kubuat Undang-Undang yang memberi ruang penanaman modal asing.
Dengan undang-undang ini, aku tancapkan cakar-cakarku di daerah-daerah penghasil bahan baku. Kukuasai, kuhisap, sampai pada urat syarafnya yang terdalam. Aku ingin menguasai dunia.
Saat ini, aku berproduksi dalam negeri-negeri jajahanku. Masalah besarku saat ini, bahan baku produksiku mahal. Tapi ini segera kuatasi. Aku segera menjatuhkan nilai kurs mata uang lokalnya, sehingga harga bahan baku menjadi makin rendah.
Caranya, kubuat mesin baru, dan kunamai dia, Pasar Valuta Asing (valas). Jika negara-negara jajahanku sudah membuka Pasar Valasnya, aku mulai masuk, mempermainkan nilai kurs mata uang lokal sesuai kehendakku. Akhirnya juga, harga bahan baku bertekuk lutut menyembahku.
Aku semakin dekat meraih mimpiku: menguasai dunia.
Saat ini, pengeluaran terbesarku adalah upah bagi tenaga kerja yang tetap tinggi. Ini membuat impianku kian jauh untuk kugenggam. Dengan cepat, kutemukan caranya. Aku coba merambat ke ranah pendidikan, dengan bantuan boneka-boneka milikku di kursi birokrasi, aku melakukan proses liberalisasi pendidikan di negara jajahanku tersebut.
Jika penyelenggaraan pendidikan sudah diliberalisasi, berarti pemerintah sudah tidak bertanggung jawab untuk memberikan subsidi. Itu artinya biaya pendidikan mahal. Di sana, aku akan hadir sebagai seorang pahlawan, dengan membuka sekolah-sekolah kejuruan, SMK, dan sekolah sejenisnya dengan mengutamakan penguasaan teknik dan skill daripada pengetahuan umum dan perkembangan dunia.
Dengan sekolah ini tentu diharapkan akan banyak melahirkan anak didik yang sangat terampil, penurut, sekaligus mau digaji rendah. Aku sudah dengan sendirinya menjadi pahlawan, juga menciptakan kantong-kantong gudang pekerja di perusahaan-perusahaanku yang tersebar di seluruh dunia.
Kini aku sudah semakin dekat menggenggam dunia. Aku menguasai dunia. Aku penguasa dunia.
Ada satu hal teramat penting yang kini aku risaukan. Konsumenku di negara-negara jajahanku akan miskin absolut, dan pada titik tertentu, daya beli mereka akan semakin menurun, kemiskinan merajalela, dan akal busukku menguasai dunia akan dicium banyak pihak, dan itu artinya, masa depanku terancam.
Agar rakyat negara miskin tetap memiliki daya beli, maka aku kembangembangkan Non Government Organizations (NGO) atau LSM. Tujuan pendirian NGO ini adalah untuk melakukan pengembangan masyarakat (community development), yaitu pemberian pendampingan pada masyarakat agar bisa mengembangkan industri-industri level rumahan (home industry), seperti kerajinan tradisionil maupun industri kreatif lainnya. Masyarakat harus tetap berproduksi (walau skala kecil), agar tetap memiliki penghasilan.
Agar operasi NGO ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diperlukan dukungan dana. Aku dengan giat mendukung kegiatan NGO ini. Taktikku ini juga sekaligus membuat nukaku putih bersih di dalam pandangan para terpelajar dan aktivis di negara-negara terjajah.
Dengan ini, aku peroleh 3 keuntungan sekaligus: masyarakat akan tetap memiliki daya beli, akan memutus peran pemerintah terjajah mereka dan yang terpenting, negara jajahanku tidak akan menjadi negara industri besar untuk selamanya. Dia konsumen abadiku, jajahan abadiku.
Tak kupungkiri, bahwa semua strategiku akan melahirkan krisis ekonomi di daerah-daerah jajahanku. ternyata juga, sangat sederhana mencari solusinya. Aku cukup cukup memaksa pemerintah untuk memberi rakyat, konsumen abadiku itu, stimulus ekonomi. Dananya tentu akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mereka.
Pendapatan mereka dari rakyat melalui pembayaran pajak yang akan terus dinaikkan besarannya, maupun jenis-jenisnya.
Inilah aku, Sang Kapitalis Dunia. Aku menguasai dunia. Dunia dalam genggamanku. Dengan kondisiku saat ini, aku nyaris mampu dengan mudah berbuat apa saja, sekehendakku.
Aku penguasa dunia!
Oleh, Topilus B. Tebai
Dari Penjara Abepura
Karton Bimoli bekas menjadi alas dari dasar semen kasar dan kotor itu. Di atasnya, lelaki muda ini duduk bersila. Di atas potongan karton, sehelai kertas kusam menadah coretan dari pena yang digerakan lelaki itu. Kata demi kata terangkai.
Setelah tangannya berhenti menari, lelaki itu diam. Tidak bergerak. Mata masih tetap menatap kertas. Dia diam membaca, mencerna kata demi kata, takut salah tulis. Beberapa kata dan kalimat dia coret. Kata dan kalimat lainnya ditambahi. Dia kemudian tersenyum. ... senyum indah yang terlihat dipaksakan: senyum pedih.
***
Adik Fransiska,
Maaf, lama tidak beri kabar. Sudah sejak 2 tahun yang lalu kita tak bersua. Kaka rindu pada adik selalu.
Adik, kabarmu bagimana? Semoga damai dari Bapa serta adik. Setelah 2 tahun tunggu, terima kasih ee, adik su kirim surat ke kaka.
Adik, penjara ini seperti neraka. Kaka diperlakukan tidak manusiawi, bagai seorang pendosa berat; barangkali pembunuh ribuan orang, atau pemerkosa ratusan wanita, atau seperti aktor genosida yang diperlakukan sadis oleh para iblis pimpinan Lucifer di pelataran api neraka, begitu hukumanku di tempat ini. Mungkin hukuman bagiku di penjara ini sama seperti yang dijatuhkan kepada Bennito Musolini bila dia tidak membunuh diri karena takut menerima hukuman yang telah dia sadari teramat berat usai perang dunia II.
Adik, Kaka juga, bila mungkin saat itu, akan memilih sama seperti Musolini, membunuh diri, daripada hidup di neraka ini. Tapi ini semua kehendak Tuhan, biarlah kehendak-Nya yang selalu terjadi.
Akh, adik, kaka tidak bermaksud mengeluh pada adik. Bukan berarti juga, dengan surat ini, kaka minta adik datang jenguk kaka di penjara, walau itu kaka ingin juga. Tapi, adik... jujur saja, akhir-akhir ini, kaka butuh ko jenguk kaka, barangkali sekali saja, itu su cukup. Su 2 tahun kaka tra ketemu adik ni.
Siska, kaka harus jujur pada adik. Di suratmu padaku seminggu yang lalu, ko su bilang ke kaka, kalau ko su temukan seseorang. Dia, menurutmu, lebih perhatian, romantis, lebih mencintaimu daripada kaka. Kaka harus bilang pada adik Siska saat ini, bahwa kaka sangat tidak tersinggung dengan keputusan adik.
Jadi, adik Siska, tidak perlu minta maaf soal itu sama kaka di surat.
Adik, kalau ko izinkan kaka untuk jujur, sa ingin bilang kepada adik Siska bahwa kaka ini paling sayang sama adik Siska.
Ketika adik Siska bilang di surat, kaka tidak perhatian, tidak cinta, tidak peduli, seperti perhatian, cinta dan kepedulian Frengky, pacarnya adik saat ini, itu mungkin benar. Tapi boleh to, kalo kaka bicara sedikit?
Adik Siska, waktu itu kaka bilang, jangan adik Siska telepon kaka banyak-banyak. Itu bukan karena kaka tidak sayang adik Siska, atau tidak perhatian sama adik Siska. Itu supaya adik bisa mandiri, tidak terikat sama kaka secara mental, sehingga kalau kaka dorang su dapat kondisi seperti saat ini, adik su bisa mandiri, bisa hidup tanpa terbebani pikiran tentang kaka di penjara, tidak kecewa atau larut dalam kesedihan yang mendalam karena kaka.
Kaka ingin jelaskan lagi soal mengapa kaka larang ko kunjungi kaka waktu itu ke kota studinya kaka. Adik juga tahu, kalo kita su dekat, jalan sama-sama, emosional kita akan padu. Ini bahaya. Di saat-saat seperti ini, adik yang akan paling menderita. Padahal, adik harus menanggung biaya pendidikan adik-adikmu yang 6 orang itu, ringani beban bapamu. Itu artinya, adik harus tetap belajar. Dan kaka pikir, kita memang harus tetap jaga jarak, tidak ada ikatan emosional yang lebih dekat.
Adik Siska, waktu adik bilang rindu, dan bilang kaka datang liburan ke adik dorang pu tempat kuliah, kaka juga su pikir itu. Adik, kalo ko mau tahu, kaka su pikir itu, rindu adik, sebelum adik bilang begitu. Tapi itu tidak baik terjadi.
Adik bilang bantu kerjakan tugas, buat ini dan itu, pekerjaan-pekerjaan yang mestinya dapat diselesaikan sendiri. Kaka tahu, adik Siska butuh perhatian. Tapi kaka sadar, bila kebutuhan perhatianmu dibuahi, secara mental dan emosional, adik akan terikat dengan kaka. Adik akan menjadi tidak mandiri dan manja. Itu kurang baik, terutama bila kaka dalam situasi seperti sekarang ini.
Adik Siska,
Dalam surat, adik bilang, Frengky, lelaki Melayu itu su bersama adik. Dia semoga lebih perhatian, lebih mencintai, lebih peduli, dan mampu mendampingi hidupmu dengan lebih baik dari yang saya buat untuk adik. Adik, walau soal itu memang kaka tra pantas ikut campur, kaka ingin tanya; tidak adakah lelaki Melanesia lain, selain kaka ini, yang sama baiknya dengan Frengky? Adik su tahu to, ras kita di atas tanah ini terancam.
Tapi adik, jujur, saat kaka buat surat ini, kaka pu hati hancur. Adik, ko su tahu to, sebenarnya kaka su cinta mati sama adik. Cuman mungkin kaka terlalu pikir kita pu masa depan. Tapi adik.., kalo soal adik su punya pengganti saya? Akh, adik, kaka sulit terima, tapi tetap terima kalo itu nyata, dan itu sudah wajar. Selamat.
Adik, kalo kaka tahu kita akan seperti ini, kaka bisa saja jadi lelaki seperti yang adik idamkan. Kaka bisa lebih perhatian, peduli dan mengungkapkan cinta dengan lebih romantis. Kaka bisa buat adik dekat sekali dengan kaka.
Kaka bisa setiap liburan ke adik punya tempat kuliah. Kaka bisa bawa adik pake kaka pu motor jalan-jalan keliling kota, kunjungi pantai-pantai indah di negeri kita yang dijarah dan dijajah ini, nikmati sunset, dan kunjungi puing-puing kemegahan dan kejayaan bangsa Papua yang lain.
Kaka bisa saja kirim boneka, baju batik kesukaan adik Siska, atau kado lainnya ketika adik Siska ulang tahun, 23 Januari setiap tahun. Kaka bisa saja kirim kado juga saat Natal setiap tahun.
Tapi semua tidak kaka buat, hanya agar adik tidak terbebani ketika kita hadapi saat-saat seperti ini.
Adik, saat ini kaka berani tersenyum walau sakit baca suratmu itu karena adik su mampu lupakan saya. Entah ini keberhasilanku membuatmu percaya diri dan tidak terikat dengan kaka, atau kegagalanku mempertahankanmu, kaka hanya mampu tersenyum dengan hati pedih.
Jujur, ada rasa terpukul juga saat kaka tulis surat ini. Kaka ingin adik kunjungi kaka sekali saja, setelah adik baca surat ini, dan kunjunganmu itu biar jadi yang pertama dan terakhir selama 9 tahun kaka di penjara Abepura.
Datanglah ambil foto adik yang kaka simpan dan lihat setiap waktu selama 2 tahun terakhir ini, karena setelah baca surat putusmu, kaka rasa memang fotomu mestinya ada di tangan Frengky, bukan di tangan kaka lagi.
Sekali lagi, adik Siska, surat ini kaka buat bukan sebagai alat untuk mengemis sama adik untuk datang jenguk kaka, atau mengemis cinta agar adik kembali balik sama kaka. Tidak. Kaka hanya ingin balas surat dari adik seminggu yang lalu.
Maaf kalau mengganggu adik. Kaka sarankan, kasih surat ini juga kepada sobat Frengky, lelaki paling berbahagia yang su mampu lebih dari kaka, bahagiakan adik, dampingi adik Siska punya hidup selanjutnya, agar dia juga baca suratku. Ini biar kita tiga rukun, tak ada masalah lagi nanti.
Salam dari kaka Jafeth Zeth
Penjara Abepura, 16 Desember 2013.
***
Surat itu kembali dilipat Jafeth. Setelah surat teramplop, surat itu masih kembali dipandanginya. Sekali ini, nafasnya berat dan panjang. Matanya merah, basah. Orang yang dicintainya di dunia ini sudah akan segera berlalu darinya. Sayangnya, hal ini terjadi justru ketika Jafeth membutuhkan dia untuk berada di sisinya.
Nafasnya di akhir-akhir jadi begitu kencang, tiba-tiba. Saya jadi terharu melihatnya. Dan, kini tak ada kata-kata lagi untuknya. TAMAT.
Oleh, Topilus B. Tebai.
Alun-alun Utara Yogyakarta
Malam Sabtu sekitar jam 7. Dari tenda biru tempat saya duduk ini, kupandang dua pohon beringin di tengah alun-alun utara kesultanan Yogyakarta. Gagah!
Kesultanan Yogyakarta yang saya tahu adalah sebuah kesultanan yang dengan sadar mengatakan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ketika Indonesia berdiri. Kota Yogyakarta pernah menjadi ibu kota negara Indonesia, kala Soekarno memerintah.
Kesultanan Yogyakarta menjadi salah satu nadi penyuplai nutrisi tetap tumbuh suburnya negara ini. Saya selalu tertarik menelusuri sejarah dan perkembangan kota ini. Walau saya seorang putra Papua.
Sambil nikmati nasi uduk di dalam terpal biru ini, pikiranku melayang. Sedikit singgah di akhir tahun 1961, pada 19 Desember tepatnya, di alun-alun utara ini. Soekarno dengan berapi-api mengumandangkan Trikora.
Isi Trikora lugas, tegas, seperti para pemimpin imperialis leluhurnya semisal Gadjah Mada, Soekarno berkata: Papua adalah tanah air kita bangsa Indonesia. Kita harus gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda kolonial.
Masih dalam imajiku, saat itu, rakyat dari berbagai kesatuan perjuangan dan golongan militer pasti telah tumpah memenuhi ruang-ruang kosong, memadati alun-alun utara kota ini. Dan kulihat sebuah panggung setinggi satu meter, tepat di samping dua pohon beringin itu.
Bagai layar lebar, aku segera hanyut dalam imajiku: Soekarno dengan berapi-api mengutuk habis-habisan tindakan Belanda mempersiapkan bangsa Papua untuk merdeka, dan dengan peluh menetes karena panas matahari kota Yogyakarta yang menyegat, Soekarno mengatakan Sabang sampai Merauke adalah wilayah kedaulatan RI yang harus dipertahankan, tanpa memedulikan panas terik yang membuat keringat jatuh dengan nakalnya di dahi hingga keraknya.
"Mas, ini airnya. Silahkan diminum."
"Terima kasih."
Penjaga warung memberiku air putih segelas. Bagai kabel yang diputus, yang otomatis memutus berita korupsi negara terhangat di TV yang pasti dikutuki banyak orang. Pemberian air ini pun membuyarkan tontonanku di ruang imaji.
Segelas air kuteguk. Segar. Imaji akan masa lalu seakan terusir jauh. Dan diam-diam saya bersyukur atasnya, tak ingin mengingat lembaran yang hanya menyiksa hati itu.
Di malam seperti ini, alun-alun utara, tempat yang begitu bersejarah itu, kini telah disulap menjadi tempat akumulasi kapital. Di setiap sudut alun-alun, kulihat warung-warung kecil milik warga asli Yogyakarta berdiri. Mereka jualan. Agak ke tengah alun-alun, ada mainan anak-anak, aneka pakaian, dari bayi hingga dewasa dijajakan. Alat-alat elektronik tak ketinggalan juga. Warga Yogyakarta jugalah yang menjajakan itu semua.
Sementara beberapa pemuda terlihat mendorong gerobak dengan bunyi khasnya yang langsung dipanggil oleh beberapa pengunjung. Ada jagung hangat, ubi, kacang, dan singkong. Makanan yang aku makan juga di Papua.
Uang menjadi begitu penting. Dan alun-alun utara menjadi tempat perputaran uang.
Saya masih tetap duduk. Setelah bayar, saya menepi menuju tempat parkir motor. Seorang penjaga parkir mengharuskan aku membayar parkir. Tiga ribu rupiah.
Ada beberapa hal yang aku kagumi dari kota ini. Yogyakarta telah menjadi kota budaya. Kebudayaan kesultanan ini tetap diangkat, menjadi roh dalam setiap pembangunan yang terlihat modern, sehingga kelihatan modern, tapi berbudaya. Ada pentas ketoprak, wayang orang, wayang kulit di setiap kedukuhan, RT, atau di acara-acara besar.
Di Yogyakarta TV, aura budaya tetap ditampakkan.
Yogyakarta juga menjadi tempat pariwisata. Tempat-tempat wisata menjadikan masyarakatnya memunyai mata pencaharian. Mereka dapat berprofesi sebagai apa saja di situs-situs sejarah dan budaya yang kerap juga dikunjungi orang. Lapangan pekerjaan terbuka. Sebut saja Borobudur dan Prambanan.
Banyak masyarakat Yogyakarta jadi penyedia jasa untuk menjelaskan sejarah situs. Satpam, petugas kebersihan, pedagang oleh-oleh khas situs dan pengrajinnya, semuanya dikerjakan oleh warga Yogyakarta.
Sementara sebagai kota pelajar, ribuan pelajar setiap tahun datang. Banyak juga yang selesai belajar dan kembali ke kampung halaman mereka. Yang datang, tentunya menjadi begitu kagum akan kota Yogyakarta yang bersih, tata kotanya yang dibangun dijiwai oleh kebudayaan, juga dengan tempat banyaknya tempat wisata menarik, dan murahnya biaya hidup.
Sementara yang pulang ke kampung halaman mereka, kesan mereka diceritakan, hingga lebih banyak lagi minat pelajar untuk melanjutkan pendidikan di Yogyakarta.
Hal ini merangsang Yogyakarta menjadi kota pendidikan. Banyak universitas berdiri. Ratusan. Mengingat semua ini, saya jadi ingat kata Thomas, seorang Batak, aktivis PMKRI.
"Menurutku, bangsa Batak adalah bangsa yang pintar manfaatkan situasi. Sama dengan orang kesultanan Yogyakarta."
Saya dengar saja pendapatnya. Sebelum saya bertanya apa maksudnya, dia telah menjelaskan duluam. Dari penjelasannya, saya pahami ini.
Indonesia telah keliru. Bentuk negara yang kesatuan tak akan mampu mengimplementasikan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Dia hanya akan membuat daerah-daerah melepaskan diri, memisahkan diri, kecuali Papua -karena kesadaran nasionalismenya lahir dengan cara unik, dan sepertinya tak tersangkut dengan inti kesimpulan ini.
Bangsa Batak cerdik. Semangat merantau, daya juang, dan keinginan kuat untuk berpendidikan tinggi ditumbuhkan. Seperti para pendahulu mereka, misal Tan Malaka dan Mohammad Hatta, banyak orang Batak menjadi nahkoda-nahkoda kecil yang juga ikut menentukan arah kapal yang namanya Indonesia ini.
Kembali ke Yogyakarta. Kota budaya, pendidikan, pariwisata, kota dengan kehidupan yang kata mereka adem ayem ini didukung sederet pemikir dan menggerak profesional dengan ilmu yang mumpuni, yang unggul di bidangnya masing-masing. Mereka memanfaatkan keberadaan mereka dalam RI sebagai sarana untuk mensejahterakan rakyat Yogyakarta. Mereka punya hak istimewa, sultan memimpin mereka selamanya.
Bangsa Toraja mengikuti jejak dua bangsa ini. Kemudian bangsa-bangsa lainnya membentuk barisan. Mereka ada di belahan wilayah mana pun di Indonesia ini. Bahkan di Bomopakebo, sebuah desa kecil di kecamatan Mapiha, di pegunungan tengah Papua, yang barangkali tak tercantum namanya di peta Papua, ada orang Batak, Toraja, Buton, Bugis.
Bagaimana dengan bangsa Papua?
Bung Tomas pernah bilang ke saya ketika itu. Dan yang dia katakan hanya potongan kata-kata.
"Budaya itu tanah. Tanamlah bibit di atas tanah itu. Walau bibit yang ditanam adalah bibit modern yang datang dari Indonesia dan barat, dia tetap bunya roh Papua, karena ditanam, hidup dari sari budaya yang telah dijadikan tanah bagi tumbuhnya peradaban. Yogyakarta demikian."
"Belajar. Belajar itu kunci. Jadilah orang yang berpengaruh. Duduki dan rebut dengan cara yang berkualitas dan intelek, kursi-kursi yang semestinya bangsa Papua duduki. Dan bila sudah, rapatkan barisan, atur langkah untuk masa depan bangsamu."
Saya juga punya satu kalimat untuk diucapkan ketika itu kepada Thomas.
"Pendidikan menjadi jendela. Saya paham. Tapi, apa kau tahu, bagaimana realita pendidikan Papua yang hancur, dibuat hancur, dihancurkan?" Kalimatku ini hanya mampu keluar sampai di tenggorokan. SELESAI
Oleh, Topilus B. Tebai
Bersama Labobar di Teluk Cendrawasih
Distrik Samabusa sudah tidak terlihat lagi di pandangan. Hanya tower jaringan dan lampu pengarah kapal yang kentara. Selebihnya kini tinggal lautan biru yang membentang.
Para pemuda telah bertengger bak burung pipit di tali jemuran menghadap padi yang menguning di persawahan di Imogiri kepunyaan kakekku yang pernah aku lihat beberapa tahun yang lalu. Ada yang sibuk bercengkerama, ada yang berdiri mematung tak bicara, masing-masing dengan khayalannya.
Sementara lautan teluk Cenderawasih yang kami arungi tak peduli dengan tingkah mereka, para pemuda itu, juga dengan khayalanku. Dia seperti pokok padi di senja hari yang menyerahkan dirinya bulat-bulat pada sang angin yang menggoyangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan tanpa mampu berbuat apa-apa. Kecuali satu: Laut memang teduh tapi buas.
Lihatlah ombaknya. Semakin kapal melaju meninggalkan Samabusa, laut menjadi lebih garang. Ibarat penjahat, dia makin beringas, menyeringai, mempertontonkan betapa dia adalah satu-satunya makhluk paling berbahaya yang harus ditakuti kawan dan lawan: dia memaksa pengakuan dariku barangkali.
Entahlah! Sudah sebulan aku di Nabire, sebuah kota Kabupaten yang memesona. Yang tidak akan aku lupa adalah laut dan pantai dengan pasir putihnya yang masih perawan, yang bagai seorang gadis, setiap gerakan dan lekukan tubuhnya mampu bangkitkan birahi, begitu aku dibuatnya, bahkan oleh riak dan gelombang ombak yang memukul tiang kakiku. Kala itu, aku dengan Johannes mengunjungi pantai Irio.
Deburan ombaknya seperti pukulan tifa berirama penuh daya magis, seperti dalam cerita Johannes tentang leluhur pulau Moor dahulu kala, ketika kami makan di warung Idola, satu-satunya warung makan kelas I di kabupaten ini, yang seporsi nasi ikannya 50.000 rupiah.
Kini, pulau Moor, Mambor, Ohee, telah kami lewati. Udara menjadi begitu sejuk. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menyisahkan cahaya keemasannya. Laut yang garang mencoba menerima transformasi ini. Seperti seorang penjahat yang dari wajah garangnya muncul senyuman indah kala disapa gadis idaman, begitu juga laut teluk Cenderawasih ini memantulkan indahnya cahaya mentari sore.
Tapi tak begitu dengan hati ini. Sakit, rindu, dan cinta hanya mampu menghasilkan titik air bening di mata: aku sudah dipisahkan begitu jauh. Mata yang menghasilkannya memerah, dan air beningnya semakin deras mengalir.
Kini kualami sendiri apa kata Johannes. Angin teluk ini begitu nakal. Dia menampar tubuhku dengan kencangnya, mengurai rambut panjangku hingga terurai ke belakang, disinari sisa-sisa sinar keemasan sang surya yang masih bersinar. Seperti seorang pejuang yang bahkan di nafas-nafas terakhirnya masih memikirkan rakyatnya, begitu pula rasanya sang mentari terhadapku.
Hanya kenyataan ini yang mampu membuatku berpikir, seakan sayangku hadir bagai secercah berkas sinar penghabisan ini dengan maknanya yang sama di hatiku.
Akh, aku masih ingin berdiri di sini. Di Cafetaria ini, mataku tak hentinya memandang ke arah selatan, tempat dimana Nabire ada di baliknya. Tempat dia mengukir namanya di hatiku dengan huruf surgawi yang tak dapat dihapus siapapun dia -kecuali Dia, Sang empunya Surga dan Bumi ini- dan membuatku tak mudah melupakannya begitu saja.
Dia tak memberiku apa-apa. Bahkan senyum dan ciuman pun tidak kala aku menaiki tangga kapal, bersiap meninggalkannya. Tak ada kata-kata. Dia hanya menghadiaiku kisah.
Cerita tentang masa depan dan hari esok yang lebih baik bagi kami berdua. Cerita tentang masa depan bangsanya yang bebas dan merdeka. Cerita yang barangkali adalah karangan salah satu malaikat Tuhan yang dicuri Johannes dari surga, tempat Koheidaba bersemayam, seperti ceritanya ketika itu dari Bukit Seribu Bintang, Gunung Kidul saat kami mengukir kisah di Jogja.
Kegelapan akhirnya menang. Hanya langit yang memerah di ufuk barat. Di timur, gelap sudah merajai jagad. Aku mulai kedinginan.
Angin malam memang dingin. Kata Johannes, di Deneiode, kampungnya yang katanya berada tinggi di lapisan awan teratas dari seluruh lapisan awan, dingin malam dapat menembus selimut setebal 5 sentimeter. Gila! Barangkali aku sudah berada malam ini bersamanya di rumah Honainya yang biasa aku bayangkan setiap malam, walau hanya mendengar dari ceritanya.
Akh, khayalan ini hanya membuatku tertawa kosong. Ini semua tak nyata!
***
KM. Labobar yang kutumpangi menurut jadwal yang tertera, akan tiba di Wasior pada esok, subuh. Bertolak dari pelabuhan yang tak mungkin aku kenali karena terbayang nasib Johannes kala datang 4 tahun yang lalu ke Yogyakarta itu terulang lagi padaku, aku akan menuju Manokwari.
Dompetku yang isinya hanya empat kertas lembar berwarna merah dengan gambar Soekarno, sosok yang kadang dicaci maki juga dikagumi dia yang di hatiku ini, tak ingin berpindah tangan kepada para pencopet jahanam itu.
Manokwari itu ibukota Papua Barat. Papua Barat adalah sebuah provinsi pecahan dari provinsi Papua. Papua Barat bukan West Papua, padahal West Papua dalam bahasa Indonesia berarti Papua Barat.
Setidaknya, itu pengertian baru yang menjadi peninggalan berharga Johannes untukku seorang. West Papua adalah wilayah teritori sebuah negara, dari Sorong di Papua Barat sampai Merauke di ujung selatan Papua. Itu salah satu benda pusaka peninggalan Johannes untukku seorang.
Kemudian aku akan tiba di pelabuhan Makassar, tanah air dari tokoh Indonesia yang aku kagumi, Jusuf Kalla. Sayangnya aku akan tiba di sana setelah 2 hari lamanya mendekam di atas penjara berjalan ini: KM Labobar.
Aku berharap, dalam 2 hari perjalananku hingga tiba di Makassar, aku sudah bisa menenangkan perasaanku yang makin lama semakin menggebu ini. Aku sebenarnya ingin kembali ke Nabire, bersama Johannes lagi. Tapi di hari terakhir, dia tidak kujumpai.
Keluarganya menyembunyikan dia dari padaku. Mereka mengatakan aku wanita Indonesia yang akan mengancam eksistensi Johannes yang adalah pejuang pembebasan bagi bangsanya itu di dunia ini. Dia, kata mereka, harus jauh dari diriku seorang.
Aku sadar, aku hanya gadis Yogyakarta yang bagi mereka mungkin pantas menyandang gelar itu 'anak dara Indonesia'.
Tapi pengertian ini kutepis kuat-kuat dalam hatiku, dengan segenap kekuatan yang ada padaku: Aku bukan wanita Indonesia. Aku dara Yogyakarta.
'Aku manusia. Dan yang nyata, aku mencintai Johannes, tak peduli siapa dia, dan tak peduli apa kata kalian padaku. Aku hanya berjuang untuk tujuan yang semestinya aku capai, dan kau tak berkuasa menghalangiku, sementara aku berjuang di koridor yang semestinya, hanya demi sebuah kata yang awalnya diperkenalkan padaku oleh dia, yang belakangan ini kusadari kedahsyatan kekuatannya: cinta'.
Dari Makassar, aku akan tiba di Surabaya. Setelah kuinjak tanah Jawa, akan ada pamanku di sana yang akan menjemputku di pelabuhan dengan sedannya, dan aku tak kuatir lagi bagaimana aku akan tiba di Klebengan, Bantul, Yogyakarta.
Yang sampai saat ini teringat di benakku hanya pesan Johannes yang dituliskanya di secarik kertas putih.
"Maria Stevani Ratnakusuma. Nama dan cintamu kan ada di setiap tarikan nafasku, hingga Dia menarik kembali nafas milik-Nya dalam tubuh ini dari padaku. Aku mencintaimu. Percayalah, kita akan bertemu kembali."
Aku sangsi tapi bahagia dengan kalimat yang terakhir ini: "Percayalah, kita akan bertemu kembali."
"Ya, aku percaya, Kita akan segera bertemu kembali."
Kulihat sekelilingku, dan kukenali muka-muka kebingungan di sekitar tempat tidurku menatapku dengan tatapan aneh, lucu dan bingung. Ternyata aku telah mengatakannya dengan keras dan tegas, seakan Johannes ada 2 meter di hadapanku, tepat seperti saat dia menyatakan cinta di malam itu, tepat di depan lapangan sepakbola Universitas Katolik Sanata Dharma Yogyakarta, 2 tahun yang silam.
Aku jadi tersipu malu.
***
Tiang penyiksaan itu seperti yang pernah aku saksikan dalam film The Passion of Jesus Christ. Tuhan Yesus, pahlawanku, yang aku lihat menderita karena dicambuk, dirajam, ditendang, diolok-olok, diludahi dan dikhianati. Semua itu Ia terima tanpa sepatah kata pun, selain erangan kesakitan, demi membebaskanku dari penjajahan dosa.
Aku kemudiam melihat seorang lelaki dengan kedua tangannya terikat oleh dua rantai besar. Kedua rantai itu terikat di tiang utama penyiksaan, tiang yang telah menghitam karena percikan-percikan darah yang mengering dan serpihan serpihan daging sang penerima siksaan yang sudah membusuk.
"Ini tempat penyiksaan para jahanam, pembangkang, pemberontak."
Aku mendengar suara itu, entah dari mana datangnya. Aku seperti seorang Rasul Yesus Kristus dalam kitab Wahyu yang melayang-layang, dibawa oleh malaikat Tuhan menyaksikan peristiwa-peristiwa terpenting yang akan terjadi di kemudian hari. Aku simak baik-baik, seakan itu adalah wahyu yang akan aku wartakan.
Ada ribuan pasukan berbaris. Di kiri kanan, puluhan algojo dengan cambuk besinya mulai mencambuki tubuh Tuhan Yesus. Batinku teriris.
Aku rasai dan jiwai penglihatan ini: Tuhan Yesus mati bagiku, bagi kebebasanku. Aku mulai menangis.
Erangan kesakitan mulai terdengar. Kulihat peluh menetes dari dahi para algojo. Darah terpercik ke mana-mana. Lama-kelamaan, serpihan-serpihan otot dan daging tubuh Tuhan ikut mencuat. Aku tersungkur dan menangis, dan para algojo semakin tergila-gila mencambuk.
Aku lihat wajah Tuhan Yesus berlumuran darah. Wajah, terutama mata-Nya telah tertutup oleh darah kental dan serpihan kulit kepala dengan rambut-Nya, menyulitkan Dia untuk melihat. Seperti seorang Maria Magdalena yang mengusap wajah Tuhan, aku ambil sehelai kain dan mendekat ke arah Tuhan sambil menangis.
Kutegakkan kepala-Nya, dan kuusap wajah-Nya dengan kain. Samar, kulihat wajahnya. "Tuhan ..." Dengan tangan bergetar, aku raba wajahnya.
"Tuhan Yesus ..."
Ternyata yang disiksa itu adalah Johannes, kekasihku.
"Maria, kau harus rela. Aku harus menderita seperti Kristus demi kebebasan bangsaku. Darahku akan menyirami semangat pembebasan. Serpihan dagingku akan jadi pupuknya. Aku menunggumu di Surga, bersama Dia, Kohei ..."
"Tidaaaaaaaaak ...."
Dan aku kaget ketika seorang perempuan di sampingku membangunkanku.
"Adik, kau mengingau. Ini, minumlah dulu."
Perempuan itu menyerahkan air dalam kemasan padaku. Udara masih dingin ketika kain yang melilit tubuh kulepas. Segera aku ke luar, menuju Cafetaria. Kupandang sekali lagi ke timur laut, dimana Samabusa berada di balik lautan yang di depan mataku ini.
"Tuhan Yesus, kuserahkan Johannes dalam tangan-Mu sendiri."
Hanya ini yang bisa keluar dari mulut. Butiran bening dari mataku kemudian memanjatkan doa pada-Nya, lebih lama dan panjang dari yang dapat keluar dari mulutku. SELESAI
Oleh, Topilus B. Tebai
Kejadian Istimewa
Di luar, langit masih mencurahkan tetes-tetes air. Kolong langit bagai terbuka lebar-lebar, dan hujan makin menjadi-jadi.
Bagi para petani di gunung, hujan adalah berkat. Kol, wortel, tomat, ubi, talas dan singkong yang mereka tanam di kebun-kebun mereka bagai menerima nutrisi dari surga. Hujan akan membuat biji jagung menjadi lebih sehat. Hujan membuat daun hijau menjadi lebih gelap, berisi. Hujan membuat debu yang menempel di daun, yang mengundang ulat pemakan daun jatuh berguguran seketika terbawa hujan.
Hal ini tidak bagi petani di pinggir sungai Mapiha. Malam hari, gemuruh air Mapiha pasti menyiksa hati. Ada kekuatiran, barangkali hujan membuat debit air sungai bertambah besar dan meluap, menyapu bersih kebun-kebun milik mereka di pinggir sungai Mapiha.
Aku masih duduk di pinggir kios ini. Hujan masih saja turun.
Depanku ada sebuah pasar. Pasar tempat mama-mama Mapiha datang jam 5 pagi untuk jualan. Di sini, di tempat aku berdiri, para penjaja dagangan duduk dengan manisnya menanti pembeli.
Kios tempat aku berteduh ini milik Mas Jun. Pria asli Jawa ini kukenal karena menjadi langganan ayahku dahulu. Sejak kecil, aku sering mengikuti ayah mengemudikan Strada sebagai satu-satunya transportasi darat yang menghubungkan daerah Mapiha, Moanemani, Obano, Paniai, Waghete, dengan Nabire, dan aku kemudian mengenal Mas Jun. Ayah selalu singgah di kios ini.
Mas Jun datang 10 tahun yang lalu, mengikuti pamannya yang telah lebih dahulu datang ke Nabire. Mas Jun tinggal di Nabire 1 tahun, dan kemudian datang ke Bomomani, membuka kios, dan menjadi penjual di sini.
Yang menarik perhatianku kini adalah seorang lelaki yang datang di bukit Bomopa, sebelah kiri tempat aku berada. Tepat di selatan sungai Mapiha.
Aku lihat jelas. Lelaki itu membawa seikat kayu bakar. Tubuhnya basah kuyup. Tanpa alas kaki, telapak kakinya begitu tebal dan kuat untuk ditembusi kerikil tajam yang dihamburkan di jalan untuk mengeraskan jalan. Kulihat, lelaki itu tidak lagi peduli dengan semua keadaan di sekitarnya.
Barangkali di benaknya ada bayangan akan masa depan: isteri dan anak-anaknya yang bahagia kala malam, karena kayu hasil jerih payahnya mampu memberikan kehangatan di malam hari. Bomomani memang dikenal dingin. Maklum, untuk sebuah ibukota kecamatan yang terletak di ketinggian seperti ini, dingin menjadi sesuatu yang pasti.
Atau barangkali ia sudah membayangkan makanan masakan isterinya yang hangat, yang akan mampu membuatnya bertenaga kembali. Entahlah, aku kini tak peduli lagi dengan apa yang dipikirkan lelaki itu.
Dia semakin mendekat, menuruni bukit Bomopa. Bercelana jeans lusuh, dengan kaos tentara, jelas terlihat tubuhnya yang kekar. Di depan kios, saya lihat lelaki itu berhenti untuk beristirahat. Hujan masih saja turun. Dia tampak tak peduli dengan hujan, juga tatapan kami semua, manusia-manusia yang berjubel di teras kios karena hujan.
Lelaki itu kini benar-benar menarik perhatianku. Dia membawa seikat kayu bakar itu menuju kios Mas Jun. Dia datang kepada kios yang di terasnya diriku berada. Aku pikir, lelaki itu ingin berhenti dahulu untuk membeli rokok, atau ingin belanja sesuatu.
Dari sampingku, lelaki itu memanggil nama Mas Jun.
"Mas Jun... Mas Jun.."
"Frans. Bagaimana. Kayunya sudah ya?"
"Iya. Ini."
Kemudian lelaki yang dipanggil Frans itu menunjuk kayu bakar bawaannya.
"Delapan ribu ya," kata Mas Jun sambil merogoh dompet hendak mengeluarkan uang simpanannya.
"Ah, ini kayu banyak. Hujan lagi. Saya su basah-basah ini."
"Terus, apa yang kau mau?"
"Sepuluh ribu sajalah Mas..."
"Akh, kayu ini kan bukan kayu berkualitas. Delapan ribu itu udah cukup, malah lebih."
"Ah, Mas, mengertilah..."
"Ya udah. Sembilan ribu ya? Oke?"
"Iyo sudah. Trapapa. Tapi sa ambil rokok satu batang ee, Mas, gratis..."
Begitulah dialog mereka yang aku dengar. Hatiku bergelombang. Darah di jantungku bagai ombak, sesekali memukul dinding-dinding hati, yang membuatku harus mengelus-elus dada. Aku tak kuasa memandang pemandangan yang seperti ini.
Dengan uang 9.000 rupiah itu, Frans membeli rokok anggur sebungkus, seharga 4 ribu rupiah. Kemudian ia membeli satu korek api dengan harga 2 ribu. Sisa 3 ribu kemudian dihabiskan dengan membeli kue donat yang dijual di kios Mas Jun.
Mas Jun dengan senang hati melayani. Kulihat senyum tercipta di bibirnya. Sementara Frans menggigil kedinginan sambil menikmati tarikan rokok. Barangkali Frans berharap, 6 buah kue donat tadi mampu membuatnya kenyang, dan asap putih yang hanya sedikit dikeluarkannya itu mampu menghangatkan tubuhnya dari dingin.
Tatapan matanya kosong.
Walau aku bukan sahabat sebangsanya, aku kemudian memberanikan diri mendekati dia.
"Ko kasih kayu bakar seikat yang besar ini cuma-cuma ini. Ini kayu bakar terlalu besar, tidak sebanding dengan uang 9.000 itu."
Frans menghela nafas saja. Aku menunggu tanggapannya. Dia tak bicara. Saya menunggu jawabannya barangkali 5 menit lebih di sampingnya. Melihat Frans tidak memberiku jawab, melihat kondisi tubuhnya yang kedinginan, aku tak tega berdiri di sampingnya berlama-lama.
Aku masuk ke kios milik sahabat ayahku, tepat di samping kios milik Mas Jun. Malam itu aku tak kuasa tidur hingga esok pagi, aku kaget mendengar deru mobil yang mengingatkanku pada wasiat mendiang ayahku untuk terus berjuang mencari hidup yang lebih baik.
Segera aku menuju Strada yang kini kukemudikan untuk mencari penumpang.
Aku bersyukur pada Tuhan, Dia berkenan membawaku ke tanah Papua, tanah surga ini. Dan dalam hati, aku berdoa buat bangsa hitam ini, pemilik negeri ini, sambil terus mengingat 'kejadian istimewa' depan kios Mas Jun. SELESAI
Oleh, Topilus B. Tebai
Maria Sanggenafa
Ketika perempuan berambut pirang berombak itu datang lagi dengan mendorong motornya ke arah rumahku, aku kini mulai memuji kreativitasnya merebut hatiku. Lihat bajunya, matanya, wajah bulat ovalnya, rambut pirang yang keriting yang dibiarkan terurai hingga sebahu itu diterpa mentari sore.
Dia mungkin saja made in tulang rusuk kiriku oleh Tangan Tuhan. Dan untuk kalimat ini, aku samar-samar ingat ajaran kuno dari Ibuku ketika usiaku 5 tahun. Dan ini hanya untuk membenarkan aksiku pada umumnya.
Aku tersenyum kecil sambil menutup notebook yang merekam semua aksi petualanganku dan bergegas menemui gadis itu di bengkel depan rumahku.
Saya kenal gadis itu sejak seminggu yang lalu. Kami sudah 6 kali bertemu dan ini yang ketujuh dengan posisi pertemuan yang sama: dia membeli bensin padaku. Mulai Senin hingga Minggu sore ini.
"Abang Matiew, bensin."
"Ok. Berapa liter Nona?"
"Dua liter saja, Bang."
Abang? Akh, aku tak percaya gadis itu memanggilku demikian. Yang aku tahu, namanya Maria Siranda Sanggenafa. Ayahnya asli Papua, kerja di lingkungan pemerintahan kabupaten Biak, tempat kami tinggal. Rumahya aku tahu, tak jauh dari rumahku. Ibunya orang Maumere, Ende, Flores. Mungkin karena ibunya orang Flores, aku dipanggilnya Abang. Entahlah.
"Bang, tinggal sendiri di rumah sebesar ini?"
Aku tak menyangka gadis cokelat manis yang tingginya kutaksir 159 cm dengan mata indah ini akan memberiku pertanyaan demikian.
"Iya. Sendiri."
"Kok sendiri, Bang. Belum punya keluarga ya?"
"Ya, belum."
"Harusnya Abang sudah punya keluarga."
Gadis ini kemudian tersenyum kecil. Senyuman indah yang tepat seperti senyum ideal seorang wanita idaman dalam bayanganku.
"Bang Matiew punya keluarga di Belanda?"
Kali ini mimik mukanya serius. Gadis itu kutatap dahulu. Berbaju merah muda tipis. Jeans menutupi tulang kaki rampingnya. Dia sempurnya untuk ukuran gadis Biak umumnya.
"Masih belum punya Nona. Kan sudah aku bilang, aku masih kuliah S2 di Jerman."
Karena aku telah berbohong padanya di awal, kini aku harus berbohong lagi. Berbohong bukan kesukaanku, tetapi kali ini harus.
Bila kau menyalahkanku, salahkan aku di 3 hari yang lalu, bukan aku di sore ini. Aku, juga kau pastinya, akan memutuskan untuk menipu daripada malu di depan gadis idaman secantik Maria. Kulihat dia puas dengan jawabanku.
Dia masih tak tahu bahwa aku adalah seorang petualang. Dia masih tak tahu aku adalah anak seorang pebisnis internasional kenamaan asal Leiden, Belanda. Dan aku, Matiew, anak ketiga Muninghoof, ayahku, tugasku hanya menikmati hidup dan berpetualang keliling dunia.
Usai tamat dari Universitas Leiden jurusan bahasa, aku lebih tertarik berpetualang. Sebelum menginjak tanah ini, aku sudah pernah ke 13 negara. Ini Negara ke-I4.
Negara pertama yang kukunjungi tentu saja Indonesia -untuk menghormati rempah-rempahnya yang telah membuat ayahku salah satu orang terkaya di Nederland- dan terakhir kali sebelum di negara ini adalah Australia.
Dengan penampilanku yang necis dan gayaku yang khas, mengandalkan tampangku yang di atas rata-rata, aku harus jujur mengakui, telah ada 25 gadis di 13 negara yang telah kuperdayai.
Dan kau tahu, Maria Sanggenafa, gadis manis di depanku ini, yang telah membuatku di awan-awan hanya karena senyum manisnya yang seindah pantai Tobati di negaranya ini telah aku catat di notebook khusus korban petualanganku sebagai gadis ke-26.
Dia tak sadar siapa aku, dan aku pun tak ingin menggubris lagi daftar itu dan urutannya: yang terpenting adalah menikmati moment ke moment yang kian indah ini.
Bila ingin aku jujur, gadis ini istimewa. Seperti gadis Brasil yang kutemui di Miami, pantai dengan pusat narkoba, wanita dan bisnis hitam yang paling membekas dalam ingatanku itu. Mungkin karena keriting rambutnya yang sama. Atau barangkali mata putih mereka, titik di hitam di tengahnya dengan mahkota alis yang tipis dan bulu mata yang lentik.
Aku kini mulai tak sabar menunggu saat-saat yang begitu indah itu.
Tentu saja, bersama gadis ini, yang tak sadar bahwa barangkali aku monster terbaik yang akan memberinya kedamaian yang bakal akan dikenangnya seumur hidup dengan cucuran air mata- seperti gadis-gadis lainnya yang telah kudaftar.
"Bang, aku takut sendiri di rumah. Kedua orang tuaku sedang ke luar daerah. Bolehkan aku mengajak Abang barangkali 5 hari ini bersamaku di rumahku. Rumah sebesar itu membuatku takut."
"Hmmm.. ya, baiklah Nona."
Sekilas kulihat senyum mekar di bibirnya. Dan untuk kali ini pun, gadis ini pasti tidak tahu. Aku yang membuat kedua orang tuanya harus berangkat ke luar kota mendadak bekerja sama dengan atasannya untuk urusan ciptaanku di Ibukota negaranya.
Yang terpenting kini, setelah merebut kepercayaan gadis ini di 6 hari pertama, inilah waktunya aku berduaan bersamanya.
"Bang, ini kamar kosong. Abang tinggal di sini. Sekarang sudah sore. Silahkan mandi dan mengganti baju. Aku akan segera menyiapkan makan untuk malam ini."
Matanya mengedip penuh arti padaku begitu aku melihatnya. Hatiku berbunga. Yang aku harapkan, dan yang aku impikan pasti akan terjadi. Dan mulai malam ini. Ya, malam ini.
Aku bersiul kecil ke kamar mandi, membersihkan tubuhku sebersih-bersihnya. Bahkan dari Leiden pun kupikir aku tak mandi dengan cara seperti ini. Pikiranku melayang jauh. Imajiku singgah satu per satu pada para korbanku.
Di Pantai Kuta, Bali, sebelum peristiwa Bom Bali, aku pernah bersama Ratyaningsih, wanita keturunan Tionghoa yang kuliah semester akhir di Bali. Aku memperkenalkan diriku padanya sebagai pengusaha yang sedang berwisata ke Bali. Untuknya, aku hanya butuh 5 hari untuk akhirnya wanita itu jatuh ke pelukanku.
Juga Sellena di Hawaii, Pasifik. Wanita India keturunan Jepang itu hanya butuh 6 hari untuk membuatnya tertidur lemas di sampingku. Juga Marry, wanita kulit hitam asal Afrika Selatan itu. Mengenai dia, aku sudah mulai lupa. Baginya, aku butuh sepekan saja. Dia sahabat sepekanku di urutan dua daftar korbanku.
Barangkali kau menyebut aku ahli di bidang ini. Aku tak akan mengomentarinya. Itu benar.
"Bang, mari makan."
Pintu kamarku diketok, dan aku sengaja membukanya hanya dengan celana pendek yang tak pantas. Ketika pintu terbuka, kulihat Maria Sanggenafa telah berdandan rapi. Melihatku tak berbaju, dia dengan sopan mempersilahkanku memakai baju dan menungguku di meja makan sambil menutup pintu kembali.
Ketika memandang matanya, ada seberkas sinar putih yang masuk menembus mataku. Sinar itu hangat, dan ketika getarannya mengena di hatiku, aku menjadi malu. Malu telah berpenampilan demikian di depannya.
Setelah berdandan rapi, aku ke luar menjumpainya di meja makan.
Ketika tanganku hendak mengambil piring dan memindahkan nasi dari tempatnya, tanganku dicegat wanita ini. Kini, dia kulihat lain. Dia bersahaja, dan aku tak tahu kesalahanku.
"Kita berdoa dahulu, Bang."
Aku tiba-tiba merasa kerdil di hadapannya, gadis kecil ini. Aku merasa malu.
"Bang Matiew, silahkan pimpin doa sebelum kita makan."
Kini aku semakin dalam menunduk dan tak mampu memandangnya. Ketika tangannya menyentuh bahuku, aliran hangat yang sama memaksaku mengangkat muka. Dengan lemas aku jawab dia.
"Aku tak tahu berdoa."
Sebelum makan, Maria Sanggenafa mengajariku berdoa. Aku yang sedari kecil tak tahu menahu soal berdoa sejak Ibu kandungku meninggal saat aku berusia 5 tahun itu seperti remaja kerdil di hadapan gadis bersahaja berjiwa besar.
Setelah makan, Maria mengantarku ke tempat tidur, mengajariku membaca dan merenungkan firman Tuhan dan berdoa sebelum tidur dari Madah Bakti miliknya.
Aku benar-benar merasa kerdil. Gadis Negara ini tak seperti gadis yang telah kujumpai di Negara Indonesia dan gadis-gadis di negara lain.
Dan ajaibnya kini, ada kitab hitam di tanganku. Kubuka kitab itu, dan kudapati kutipan ini di 1Yohanes 1 : 9, berbunyi: "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan."
Malam itu, air mata menetes jatuh. Aku menyesali dosa-dosaku, berharap dosaku diampuni, dan mengikat janji akan berubah.
Petualanganku mungkin terhenti di kota ini. Dari Negara ini, aku mungkin akan menempuh jalan baru yang lebih indah. Malam itu, aku tidak lagi tidur sebagai binatang jalang yang dilahirkan harta dan kenikmatan. Aku terlelap tidur sebagai Matiew Muninghoof, anak Tuhan dari keluarga Muninghoof. TAMAT.
Oleh, Topilus B. Tebai
Sonia
"Sonia, kau sudah dewasa.
Jangan bebani lagi ayahmu ini. Pulang dan menikahlah, datang dan jaga adik-adikmu yang telah lama ditinggal pergi ibumu ini."
Kata-kata ayahnya itu rasanya lebih menyakitkan dari sakit Malaria yang dideritanya. Air mata terus menetes. Sonia ingin sekolah.
***
Pouya. Kampung ini ada di atas permadani rumput di lembah Kamu. Dari pasar Moanemani harus jalan kaki dua jam ke selatan untuk sampai ke kampung Sonia ini. Di sana imajinasinya berlabuh, malam ini.
"Ayah sakit keras. Ayah tak berobat karena tak ada uang. Adik-adikmu kelaparan di rumah. Pulanglah". Itu sambungan surat ayah.
"Ayah, Sonia ingin sekolah," dan titik-titik air mata membuat basah kertas kusam di tangannya. Tulisan tangan ayahnya mulai kabur karena basah. Hatinya bergolak kencang.
Mengingat wajah bulat oval ibunya kala bersamanya pulang dari kebun membawa bahan makanan untuk dikonsumsi dan jualan, air mata kian deras mengalir. Ia ingat pesan ibunya.
"Andai Ibu ada. Aku tak mungkin dipaksa putus sekolah".
"Sonia, kau tidak harus memilih menjadi sepertiku, pagi ke kebun dan sore kembali ke rumah. Teramat berat mengurus tanah. Menanam, memelihara, memanen, menyediakan makanan, semua itu berat. Kau ingat sahabat ibu yang di samping kantor bupati itu? Dia teman Ibu kala SMP. Sekarang dia kerja di kantor. Kerja tanpa keringat karena ada kipas angin. Ibu ingin Sonia seperti dia," begitulah Ibu memberi Sonia motivasi.
Sonia memang kenal ibu Dominika. Perempuan cantik yang gendut dari Ugapuga itu memang sehat dan awet. Dia tak banyak kerja seperti ibunya.
"Sonia, kehidupan yang akan datang akan sangat berat, ..." dan Sonia sudah tak ingin lagi menambah beban pikiran mengingat semua nasehat almarhumah ibunya.
Sudah cukup pedih. Angin yang bertiup kencang malam itu dan hujan deras yang menyusulnya tak membuat Sonia pulas tertidur.
Pikirannya menerawang jauh. Masa depannya menantang untuk ditelusuri. Ia yakin dia akan berhasil, seperti mimpi ibundanya. Bagaimana tidak, Sonia juara umum tiga kali untuk angkatannya di tiga tahun dirinya belajar di SMA YPPK Teruna Bakti Jayapura.
Sonia ingat surat cita-cita yang telah ditulisnya ketika diminta guru Bimbingan Konselingnya. "Saya ingin kerja di kantor kabupaten." Sonia ingat benar apa yang telah dituliskannya. Itu bisikan almarhumah ibu yang belakangan ini terus diingatnya.
"Bagaimana dengan Jhon?" tangis Sonia kali ini khusus untuk lelaki yang amat dicintainya.
Dia Johanes, teman SMP dan SMA. Sonia tak ingin bila kelak dirinya tak bersama Jhon. Tak rela. Bahkan batin Sonia dengan tegas berkata, "Sonia, kau tak punya hidup di luar hati Jhon".
***
Pertengahan Mei, hasil diumumkan. Para guru di SMA Katolik ini sudah punya kandidat juara umum sekolahnya untuk ujian nasional yang sebentar lagi akan diumumkan. Siapa lagi bila bukan Sonia.
Di ruangan kepala sekolah, ada 3 ijazah milik para siswa yang tidak hadir ketika pembagian ijazah di sekolah. Dua siswa telah datang dengan orang tua, dan dengan gembira, mereka mengambil ijazah mereka. Tinggal satu ijazah di meja. Itu ijazah milik Sonia. Ijazah dengan nilai-nilai terbaik seangkatan menjadi yang terakhir diambil.
Seminggu, dua minggu, sebulan, setahun berlalu, Sonia tak kunjung datang mengambil ijazahnya.
Sonia tak ia temukan di Jayapura. Kota yang teramat besar untuk ukuran kota di Papua pada umumnya ini telah ditelusuri kepala sekolah dan jajaran guru. Sonia hilang.
"Sonia menangis malam itu. Ia siapkan tas. Setelah itu, tidak tahu". Begitu saja keterangan yang diberikan orang tua wali Sonia di Jayapura. Keterangan singkat yang tak memuaskan.
Surat telah dikirim beralamat Pouya. Sang kepala sekolah tak tahu, pak Pos tak mungkin akan ke kampung itu, ke Pouya. Lagipula, bagaimana bisa? Ayah Sonia yang dituju telah meninggal setelah Sonia tiba di Pouya, tepat sehari sebelum pengumuman kelulusan SMA.
***
Sore ini adalah tahun ke-7 sejak peristiwa di atas. Langit cerah. Seorang ibu bertubuh kurus dengan berbagai bawaan sedang menepi ke perkampungan, sesore itu. Sebentar lagi gelap.
"Maria, kemari. Kita istirahat dulu".
"Mama, kita jalan saja sudah. Hari sudah semakin gelap".
Seorang anak perempuan dengan senoken sayur hitam mendekat. Dia melepas bawaannya di atas kepala dan menatap dalam-dalam ibunya. Ibunya memandang arah barat. Matahari sedang terbenam setelah puas seharian menggerogoti ibu-anak itu di kebun mengurus tanah.
"Maria, kau tak harus menjadi seperti ibumu ini. Mengurus kebun dan rumah terlalu berat. Menanam, merawat, memanen, mengolah, itu pekerjaan berat. Apalagi kau lakukan tiap hari. Kau ingat ibu Monika, yang memberimu uang dua ribu rupiah ketika kita menjual sayur padanya? Dia temanku ketika SMP dan SMA. Kau harus berpendidikan agar menjadi seperti dia, bekerja di kantor kabupaten. Tidak seperti ibumu ini ..."
Sonia ingat ibunya. Di tempat ini, tepat di senja, seperti saat ini, nasehat serupa pernah keluar dari almarhumah ibunya, 19 tahun yang lalu.
Dan air mata Sonia tak tertahankan lagi saat ini, di depan anak perempuan pertamanya, Maria. TAMAT.
Oleh, Topilus B. Tebai
Langganan:
Postingan (Atom)