Cerpen Topilus B. Tebai
BUNUH! Dalam benakku, hanya ada kata
itu: Bunuh!
Memang,
itulah tugasku, membunuh. Namaku? Bagaimana aku memberitahu kau, sedang aku pun
tak mengetahui siapa diriku? Yang aku tahu, aku pembunuh. Pembunuh bayangan. Aku tahu, aku
lahir untuk membunuh. Lebihnya? Tidak penting bagiku kini.
Barangkali
yang muncul dalam imajimu adalah sosok berperawakan menyeramkan dengan jenggot
tebalnya, atau alisnya yang tebal, dengan mata semerah darah, bila kau ketik
kata “pembunuh” dalam mesin pencari di otakmu.
Entalah!
Yang jelas, aku bukan seperti yang kau bayangkan. Aku manusia seribu wajah. Aku manusia seribu bahasa. Aku manusia seribu karakter. Aku hadir dalam setiap
tarikan nafasmu.
Aku
berada dimana kau berada, berdiri di setiap persimpangan jalan, berjalan di
belakangmu, mengikuti kemana kau pergi. Aku masuk di tempat kau masuk, dan
duduk di belakang tempatmu duduk, mengawasimu.
Barangkali,
kau pernah bertemu aku. Mungkin di pasar, katika aku dengan sepeda tuaku berteriak-teriak
dengan keringat di dahi, berjualan koran. Sangkamu, aku benar penjual koran.
Nyatanya? Itu wajahku ketika mengamati mangsa.
Barangkali,
kau pernah bertemu aku di tempat karaoke. Di warung makan. Aku mungkin kau lihat
saat menjadi pelayan, atau menjadi salah satu wanita penghibur yang menemanimu
kala itu. Itulah aku, dan sekali lagi, kau tak tahu siapa aku, bahkan saat kau
berada di atasku, dalam jarak yang tidak lebih dari satu sentimeter, di atas
ranjang, bersiap menindihku dengan gelora.
Kau tidak sadar bahwa saat itu, aku
berduaan sediri dengan calon pembunuh dirimu. Aku!
Pemuda,
barangkali kau lihat aku ketika aku datang padamu. Aku duduk bersamamu, dengan
cepat merebut kepercayaanmu, lalu mengajakmu minum. Ketika kau mabuk, aku
tinggal memencet tut-tut di Hpku, memanggil rekan-rekanku. Dan saat
rekan-rekanku datang, aku sudah enyah dari antaramu. Itulah aku, pembunuh
bayangan, bergerak bagai bayangan. Membunuh dalam sekejab, bagai kelebat
bayangan.
Barangkali,
kau pernah bertemu aku di tempat wisata. Ketika itu, mungkin aku menjadi
seorang wisatawan. Dengan wanita, bir, dengan celana pendek, dan kau tak
menyangka bahwa akulah dia. Itulah wajahku ketika refresing. Kata Boss, aku
perlu refresing. Katanya, itu semacam jeda iklan untuk kemudian melanjutkan
filmnya. Seperti jeda sejenak untuk iklan di Global TV.
Barangkali
kau juga pernah bertemu aku. Ketika itu, aku jadi pengojek. Aku mengantarmu ke
tempat tujuanmu. Dalam perjalanan, aku bertanya, dimana kau tinggal, dari mana
asalmu. Kau jawab tanpa pikir panjang, tidak sadar bahwa akulah pembunuh
bayangan, yang dapat melenyapkanmu dalam hitungan detik. Itulah wajahku ketika
aku bertugas.
Mungkin
juga kita pernah duduk bersama di Cafetaria kapal. Mungkin dalam perjalanan
Surabaya –Jayapura. Kita cerita banyak hal. Dengan cepat kau percayai aku.
Jangan heran kawan, aku memang ahlinya untuk itu.
Dan
ketika informasi berhasil kukorek darimu, esok pagi takkan kau temukan aku
dengan wajah lama. Aku telah berwajah baru. Mungkin pedagang, mungkin juga anak
buah kapal yang sering mondar mandir di depanmu. Aku cukup lihai membutakan
matamu untuk memandangku. Inilah aku, pembunuh bayangan. Bergerak bagai
bayangan.
Juga
mungkin, kita pernah bertemu. Aku saat itu kau lihat sebagai jurnalis, reporter, koresponden, mahasiswa,
aktivis yang berteriak di jalan, atau sebagai pejabat pemerintahmu yang vokal. Itulah aku,
pembunuh bayangan.
Aku
muncul padamu ketika kau belum berpikir tentang kemungkinan bagi aku untuk
hadir di sekitarmu, dan menghilang sebelum kau menyadari, bahwa beberapa detik
lalu, aku telah berdiri di sampingmu, duduk di belakangmu, mengintaimu,
menunggu kesempatan pas.
Kau
tahu, pembunuh yang baik akan menunggu kesempatan yang tepat. Seperti itulah
aku. Bila kesempatan itu tak kunjung datang, aku lihai menciptakan kesempatan.
Dan... lewatlah kau!
Ketika
kita berkontak mata, bukan sorot mata merah dan tajam menusuk, atau dengan alis
mata tebal yang kau temui. Takkan kau jumpai aku dengan perawakanku seperti
itu. Aku proffesional.
Ketika
di dekatmu, aku hadir dengan bola mata bulat, dengan rambut kelopak yang
lentik, dengan alisnya yang tipis menawan, yang membuat hatimu berteriak:
‘Aduhai...betapa cantiknya bidadari itu..’ Dan ketika kalimat itu terucap dari
bibirmu, kau tak tahu siapa diriku sebenarnya.
***
CEPAT, teliti, rapi, aman, dan
terpercaya. Itu
kredibelku sebagai pembunuh. Boss percaya aku. Kau? Bagiku, kau tidak lebih
dari seonggok daging segar di tanganku, dengan embun darah berceceran di
tanganku, yang membuat air liurku
menetes, ingin segera memangsamu, menghirup darah segarmu. Hidupmu begitu mudah
kucekat.
Bagiku,
bagi Boss yang mengaturku, menghilangkanmu dari buminya Tuhan ini terlampau
gampang. Seperti sekerat daging segar, dengan tetasan darahnya, ranum,
menggugah selera. Namun aku takkan menelanmu. Aku cukup memangsamu sedikit demi
sedikit. Bila kau lemah, aku bangkitkan kau, untuk kemudian kumangsa kau.
Kau
sumber hidupku. Tak ada kau, darimana kudapat sesuap nasi untuk aku dan
keluargaku hidup? Tidak! Aku ingin terus hidup, dan ini pekerjaanku: mengintai,
mengamati. Bila kau terlalu kuat, kupangkas kau. Bila terlalu lemah, kuberi
sublemen tambahan. Ketika kau bangkit, kupangkas lagi. Begitu seterusnya.
***
Siang
ini, aku iseng membuka www.sampari.com. Sampari.com, majalah terbesar di tanah
Papua. Dalam laporan peristiwa, kulihat foto mangsaku terbaru dicetak. Aku
tertarik membaca tulisannya:
“Martinus
Dororume ditemukan rombongan pemuda dalam keadaan tak bernyawa kena bacokan
benda tajam di tikungan Sky Land, pagi hari ini, Senin (23/11) pukul 07.00.
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, ia meninggal akibat bacokan benda tajam sekitar 4 jam yang
lalu. Polisi
masih menyelidiki kasus ini. Polisi yang menyelidiki menghubungkan kematian
ketua umum FPCC dengan beberapa mahasiswa pegunungan yang mabuk di tikungan Sky
Land malam itu, sampai pagi. Mereka
telah diamankan polisi. Polisi juga mengamankan tiga buah sabit di TKP sebagai
bukti.”
Aku
keluar dari warung internet. Dari tempat biasa, segera aku berganti wajah.
Kini, dengan kamera tergantung di leher, dengan kaos putih menempel, aku
berjalan kaki menuju Sky Land. Sampai di TKP, aku wawancarai juru bicara FPCC.
Aku wawancarai saksi mata, juga polisi, juga penasehat hukum ternama di daerah
itu. Aku hanya ingin mendeteksi, barangkali kerja tim bayangan terbongkar.
Bila
terbongkar, aku mesti bertindak cepat melindungi Boss. Keadaan mesti kuciptakan
agat Boss tidak terperciki masalah. Bagaimana aku bisa jadi wartawan? Tenang.
Aku cukup lihai. Lihat, apa yang kukalungkan ini?
Kartu pers!
***
Aku tak tahu alasan Boss memberiku tugas
memangsa ketum FPCC itu. Ketika target masuk, aku bergerak. Awalnya, selama
sebulan, aku masuk FPCC. Martinus,
katika turun jalan, ia orasi dalam demo menuntut tanggungjawab negara atas
korbanku sebelumnya di tempat lain, berkoar-koar bak air pancur memancarkan
air: kencang, mengalir, bertenaga.
Aku
tertawa geli. Martinus tidak sadar, bahwa pembunuh rekannya itu, yang ia kutuk
dalam orasinya itu, adalah orang yang menolongnya kini di jalan, menyorongkan
pengeras suara di dekat mulutnya, agar gema kutukannya begitu jelas terdengar.
Sekali
ini, Martinus tidak menyadari, bahwa ia telah begitu dekat berada dengan
pembunuh rekannya. Juga ia tak menyadari, target berikut dari Boss yang masuk
adalah dirinya, Martinus. Dan calon
pembunuh dirinya, kini berada tidak lebih dari sementer dari dirinya. Siapa
lagi bila bukan diriku. Bagiku yang seorang
pembunuh, aku menikmati fenomena langka seperti ini.
Kejadian itu
kini sudah 2 minggu berlalu. Aku dengar, keempat pemuda itu dipenjara
masing-masing 7 tahun dengan tuduhan membunuh ketua FPCC. Sehari setelah itu,
keluarga martinus membunuh seorang dari keluarga mereka yang telah dihukum dan
mendekam di penjara itu sebagai balas dendam.
Aku
tertidur di apartemen dengan nyenyak. 5 jam berselang, aku baca lagi di pertal
berita Sampari, terjadi pentrok antar orang Papua sendiri di Jayapura, dan
korban tak terhindarkan lagi. Penyebabnya? Aku dan implementasi taktikku: Satu
pembunuhan, 100 kematian. Satu pembunuhan, 100 perpecahan.
Pada
saat yang sama, Hpku berdering. Pesan dari Boss:
“Selamat.
Satu pembunuhan, 100 kematian. Dana telah dicairkan. Cek di rekening:
@80.000.000. Mat bersenang-senang!”
Waktunya
jeda iklan, sobat. Film ini akan segera berlanjut, setelah jeda iklan ini.
Terget berikut akan dikonfirmasi Boss, dan film akan segera dimulai. Khusus
untuk calon korbanku yang hobinya berkoar-koar di jalan bagai air yang tercurah
di tanah ini, semoga saja mottoku dapat
kurealisasikan: satu pembunuhan, 100 kematian. 1 pembunuhan, 100 perpecahan. [] TAMAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda terhadap apa yang telah anda nikmati di atas!