Sabtu, 28 Februari 2015

Lilin




Cerpen karya Topilus B. Tebai

MALAM telah menyelimuti Yogyakarta. Sudah pukul 23.30 WIB. Aku disini masih duduk mematung di tengah tumpukan buku, semalam ini. Gelap menguasai kamarku. Aliran listrik tidak lagi membuat lampu Philips di kamarku mengusir gelap. Sudah sejak 5 menit yang lalu.

Sejujurnya, aku masih belum percaya gelap akan menguasai ruang ini begitu saja, tiba-tiba. Padahal, aku baru saja mulai duduk menghadap notebook dan menarikan jemari merangkai cerita pendek ini. Akh, semua tampak tak bersahabat. Tidak seperti dirimu, kecuali ending yang kau suguhi, yang begitu tak kunikmati, akhir pekan lalu.

Tanganku bergerak meraba, menelusuri sisi kiri meja belajar. Aku ingat. Ada puntung lilin bekas pakai. Itu lilin Natal. Korek tidak begitu susah kutemukan. Dia ada dalam kotak tempat kusimpan rokok.

Setelah kunyalai, cahayanya kini membuat mata dapat memandang. Mengenali barang-barang milikku sendiri yang ada di tempatku ini. Kenyataan ini membuat aku mengingatmu lagi, kata-katamu. "Terang itu mendamaikan, membuat kita jadi diri sendiri," begitu katamu saat itu, saat kita makan malam di Burjo Timoho.

"Terang itu membuatmu sadar siapa dirimu. Terang itu membuat kita melihat. Memberi landasan bagi kita untuk tidak bikin salah." Itu uraianmu. Kini, cahaya lilin yang menerobos masuk melalui pintu mata telah masuk dalam otakku, membongkar lemari arsip yang telah berdebu ini, membuka lembaran-lembaran yang telah lewat.

"Terang itu ikhlas." Untuk kalimat yang ini, aku memang tak akan lupa. Itu pintu buatku mengingatmu. Lekukan bibir meronamu saat mengucapkan setiap huruf demi huruf yang kau rangkai begitu indah, hingga kau buai aku dengan teori lilinmu itu.

"Ikhlas. Maksudnya?"

"Maksudnya? Ayolah. Kau kan mahasiswa Filsafat."

Kemudian kudengar uraianmu. Tahukah kamu bahwa cahaya lilin itu adalah air matanya yang malah membuat kita tertawa? Akh, sayang sekali. Memang malang menjadi sebatang lilin.

Sebatang lilin diberi harga tak lebih dari seribu rupiah sebatang. Ia begitu hina. Bentuknya tidak istimewa. Ia hanya seperti batang besi, berwarna putih, dengan sumbu tali di tengahnya, tempat sang korek menghasilkan api dan membakar sumbu itu. Selanjutnya, daging lilin terbakar. Semakin terbakar, semakin terang nyala lilinnya. Semakin teranglah ruangan. Semakin gembira orangnya.

"Tapi, dapatkah kau menjadi seperti lilin?"

Itu pertanyaan menyentak. Menyadarkanku dari buaian uraianmu. Sebatang lilin begitu ikhlas memberi dirinya demi manusia untuk menjadi manusia seutuhnya: mengenali dirinya dengan mata, memandang sekelilingnya dengan mata, mengenalinya. Ia mengusir gelap. Untuk misi ini, ia biarkan dirinya meleleh. Terbakar, hingga ia habis.

"Sayangnya, ketika lampu listrik menyala, lilin dipandang sebelah mata. Bahkan tidak berarti apa-apa."

"Lilin benar-benar ikhlas," sambutmu dengan datar. Kemudian kau memegang tanganku lembut. Kurasai dingin tubuhmu menyatu dengan dingin tubuhku. Tak lama setelah itu, kita menjadi hangat. Dan setelahnya, aku masih mengingat pertanyaanmu padaku.

"Gio, begitu ikhlaskah kau menerimaku seperti sebatang lilin?"

Saat ini, kurasakan nafas beratmu yang terhempas di sekitar telingaku saat kau membisikkan pertanyaan itu padaku. Dan untukmu, maaf ini kusampaikan pada angin gunung Merapi. Biar ia saja yang membawanya ke tempat kau berada saat ini, menerobos sekat-sekat yang memisahkan kita, untuk membisikkannya padamu lagi, tak peduli ini yang keberapa.

Aku masih duduk di tempatku. Menunggu lampu philips mengeluarkan cahaya lagi. Dan saat ini aku fokus memikirkanmu, menjauh dari berondongan pertanyaan sang lilin padaku.

"Gio, aku mampu memberimu terang, dan kau masih mengharapkan Philips mengeluarkan cahayanya lagi."

"Iya, karena cahaya Philips lebih terang darimu."

"Memang, aku sadar cahayaku redup. Tapi tidakkah kau lihat tulus hatiku?"

Kupandangi lilin ini. Masih menyala di atas sehelai kertas bekas. Sungguh, bukan tempat yang layak, sejujurnya, bagi sang lilin untuk berpijak. Nyala lilinnya kini mulai diganggu sang angin nakal. Serta merta kuulurkan tangan menjaga nyala lilin tetap besar.

"Tak usah kuatir, Gio. Aku masih kuat memberimu terang. Walau redup. Walau angin berusaha membatasi." Dan kepadaku, sang lilin beri senyuman tulus. Senyuman ikhlas. Senyum totalitas. Mirip senyummu.

Aku kaget saat listrik jalan lagi, dan lampu philips menyala. Sontak, seisi ruangan kentara semua. Cahayanya lebih terang dari lilin. Tidak redup seperti lilin. Kuucapkan maaf, dan kuhembuskan udara dari nafasku. Nyala sang lilin mati. Dan kini aku sadari mataku berair menyadari kenyataan ini: aku sendiri membunuhmu, lilinku, membunuh kau yang begitu ikhlas mengisi ruang ini dengan cahayamu kala ditinggal pergi cahaya philips.

Tapi lima menit kemudian... lampu mati lagi. Listrik tak jalan lagi.

Kukembangkan kedua tanganku menelusuri dan menjangkau semampuku, mencari sang lilin. Kudapatinya di pojok meja, terhimpit buku-buku Akuntansi yang tidak kau mengerti bila kujelaskan.  Kemudian kuambil korek, menyalakannya. Cahaya lilin kali ini redup, lebih redup dari semula.

Kudapati lilin dengan muka lembab. Dia habis menangis, kuduga. Dan aku memang tak berani menanyakan lilinku ini mengapa, bila tidak ia jelaskan sendiri padaku.

"Aku memang terlahir menjadi pilihan alternatif. Tapi untukmu, aku rela. Bahkan bila tubuhku harus memeleh dibakar, asal kau masih dapat menerima dirimu dan mengenali lingkungan sekitarmu tanpa dibutakan sang gelap lagi."

"Aku ikhlas." Dan kini aku tak mampu memandang sang lilin di depanku ini, yang dengan cahayanya, membuat aku dengan jelas memandang fotomu, sayangku, di meja ini. Aku tak mampu lagi memandang lilin itu, karena kusadari dia seperti dirimu untukku. Dan malam gelap ini membuatku semakin kuatir padamu. Karena aku tahu, kini kau dalam gelap. Gelap yang sama.

"Adakah lilin padamu, yang akan dengan ikhlas memberimu terang?"

"Adakah padamu korek api, yang dapat membuat sumbu lilinmu menyala?"

"Atau kau dipenjara sang malam, menjadi puteri gelap, hingga memandangku, memandang lilin dan korek api sebagai musuh yang akan menguasai dan mengambil secuil demi secuil hak atas teritori  kekuasaanmu hingga harus kau jauhi, musuhi, membunuhku bila perlu?"

Akh, semoga tidak demikian. Aku disini masih mencintaimu, Merry, lilinku, pengusir gelap hatiku. Selamat istirahat untuk malam ini, untuk esok pagi, hingga kita jumpa lagi di padang anggek tanah air, suatu saat nanti, entah kapan. TAMAT.
 

Tidak ada komentar: