Sabtu, 28 Februari 2015

Tamu Tengah Malam


Cerpen karya Topilus B. Tebai

Malam itu aku benar-benar tak mampu tertidur. Aku seperti gelisah menanti sesuatu, entah apa. Dan tepat pukul 24.00 pintu rumah kami diketok. Aku yang dibuat dingin karena hujan dan angin yang membabi buta di luar, yang serpihan dinginnya menusuk tulangku, kini merinding membayangkan sosok manusia di depan rumah kami.

Aku bergidik dan enggan melangkahkan kaki membuka pintu. Tetapi ketika kudengar ketukan kedua,  aku bagai tersihir. Keberanian datang tiba-tiba, menghampiriku. Aku menjadi tak peduli lagi siapa gerangan orang yang mengetok pintu tengah malam begini.

Tiba di depan pintu, tanganku masih ragu membuka. Dan ketokan ketiganya membuat tanganku serta merta terayun membuka. Dan kulihat seorang pemuda kurus dan dekil, tanpa alas kaki, dengan kaosnya yang basah kuyup dan noken kulit kayunya yang terisi di sisinya, telah berdiri di depan. Ia menyambutku dengan senyuman.

"Damai sejahtera bagimu." Lelaki itu menyapaku. Aku persilahkan lelaki itu masuk.

Ruang tamu tak begitu luas. Ada meja kecil di tengah. Di atas meja itu ada sebuah buku, asbak rokok, rokok dan korek api. Di dua sisinya ada dua bangku panjang. Hanya itu.

"Siapa kamu, dan mengapa kau datang tengah malam ke rumahku?"

Kulihat lelaki itu mengangkat wajahnya. Sorot mata di balik rambut keriting gimbalnya tajam menusuk mataku, menembusi hatiku. Ia menatap lama, seperti membaca semua kegundahan dan kecurigaanku padanya.

"Tak perlu. Kita telah berkenalan lama, bukan? Lagipula, bukan kehendakku. Kau yang mengundangku datang kemari." Dan kemudian ia tersenyum padaku.

"Aku haus. Adakah air kau simpan?"

Aku bingung dan heran. Aku yang mengundangnya? Lelaki ini tak memperkenalkan nama. Aku yakinkan diriku bahwa aku tak pernah mengenal orang seperti dia, apalagi mengundangnya. Dan dalam hatiku muncul perasaan tak enak. Apalagi ia telah mengganggu tidurku. Tapi sorot matanya tak mampu kulawan. Ia benar-benar telah menyihirku.

Ketika aku berdiri melangkah hendak menimbakan air buatnya, lelaki itu serta merta berdiri dan mencegahku berdiri.

"Biar aku saja yang mengambilnya. Masih di tempat yang lalu itu, bukan?"

Aku mengangguk padanya. Ia menghilang ke arah dapur, dan balik lagi dengan segelas air putih di tangannya. Aku benar-benar dibuat bingung dan geram. Lelaki tak dikenal ini, telah mengganggu tidurku. Ketika kubuka pintu, ia tak memperkenalkan diri. Dan sekarang, seperti seorang tuan rumah, ia ke dapur, mengambil semaunya tanpa canggung.

"Aku sedang lapar. Aku habis berjalan jauh. Di tempat makanan aku lihat sisa makan malam. Aku ingin makan."

Begitu saja. Dan setelahnya, bahkan tanpa menunggu persetujuanku, ia telah bergegas mengambil alat makan dan mengambil makanan.

Habis makan, ia meneguk air. Kuperhatikan dia. Tetapi ketika ia menatapku, aku beralih pandang. Aku tak kuasa beradu pandang dengannya.

"Apakah ada damai sejahtera di tanah ini?"

Ia bertanya padaku. Aku menjadi semakin bingung dengan lelaki ini. Ingin rasanya segera mengusir ke luar lelaki ini. Tetapi sesuatu menahanku. Dan ketika aku mengangkat wajahku, ia telah menatapku dengan sorot mata yang amat tajam, dan tanpa senyum, ia berkata lagi.

"Adakah damai sejahtera di tanah ini?"

"Tak ada Tuan. Kau bisa lihat sendiri. Pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan, perampasan kekayaan alam, pembabatan hutan, pencaplokan tanah adat, penyiksaan, pemenjaraan. Pemiskinan, dominasi kuantitas penduduk asing. Semua terjadi seantero tanah ini. Semua hanya melahirkan derita untuk penduduk tanah ini, dan bukan damai sejahtera."

Dan kemudian kutambahi lagi, "Kau pasti keliru jika menginjakkan kaki di tanah ini, hanya mencari damai sejahtera."

"Aku tak pernah keliru. Aku pemilik nafas yang kunamai, Damai Sejahtera itu. Dan di atas tanah ini kucari. Adakah damai sejahtera di tanah ini? Siapa perusak nafasku?" Ia bertanya padaku berulang-ulang untuk dua pertanyaan terakhir itu.

Entah mengapa, kini aku mengantuk. Secepat itu aku mengantuk. Dan perlahan-lahan, aku tertidur pulas di tempatku duduk. Suara pamitnya hanya sayup kudengar, ketika diriku berada antara sadar dan tidur.

"Aku pergi mengunjungi daerah-daerah lain di tanahku ini. Dan aku akan bertanya padamu sekali lagi nanti, suatu saat, ketika kau merebut kembali damai sejahtera yang kuberi." Dan melalui celah kelopak mata, kupandangi, lelaki itu pergi dan menutup pintu dari luar.

***
"Pak, bangun. Sudah siang," begitu isteriku membangunkanku.

"Mengapa kau tidur di bangku ini?" Dan kusadari aku tertidur di bangku di ruang tamu. Aku sendiri heran dan kemudian takut.

Karena sehabis makan dan isteriku terlelap tidur, aku memang ke ruang tamu ini dan membaca Alkitab. Kurenungkan sabda-Nya. Dan yang kuingat, aku kembali ke tempat tidurku.

Sebelum tidur, sempat jari-jari kedua tanganku menyatu depan dada. Dan dengan mata tertutup, aku dengan sungguh-sungguh memohon Tuhan Yesus berkenan melawatku di tanahku ini, dan memberiku sapaan, "Damai sejahtera bagi kamu." TAMAT.

Tidak ada komentar: