Rabu, 16 Juli 2014

Wanita Rel Kereta


Setiap melewati lintasan kereta api di Timoho, Yogyakarta, selalu kuingat pada perempuan Papua di bawah sinar purnama, tempo hari. Saya pikir kau harus tahu peristiwa itu.

Waktu itu Jumat Kliwon. Warga Jawa mempercayainya sebagai hari keramat. Ini kudengar dari Pakde Yono, pemilik kos tempat aku ngekos, tepat di samping lintasan kereta. Terminal kereta Lempuyangan yang ramai itu letaknya dua ratus meter dari tempatku, dan cerita ini kudengar ketika kuantar Pakde yang ingin berobat di rumah sakit tentara Lempuyangan.

Dengan motor Yupiter tua milik teman, malam itu aku lintasi rel kereta. Aku dari arah lereng Merapi menuju arah pantai selatan. Kira-kira pukul 10.00 WIB lebih sedikit, ketika mataku tertuju pada bayangan manusia di samping rel kereta api, tepat di belakang warung burjo Pak Joyo.

Ada kekuatan gaib memerintahkan tanganku meramas rem, dan sesaat kemudian motor kuparkir tepat depan Alfamaret depan rel. Aku menuju bayangan itu. Yang aku pikir, bayangan itu mirip seseorang yang pernah aku kenal. Dalam benakku tak tampak manusia yang aku duga, tapi kaki tetap melangkah.

Kulihat rambutnya terurai ke belakang. Keriting. "Orang Papua". Aku duga kuat, wanita itu dari Papua. Dia menoleh, tersenyum dan mempersilahkan aku duduk di sampingnya seakan dia yang memanggilku karena keperluannya, dia menyalamiku duluan.

Dingin. Itu yang aku rasakan dari tangannya.

"Elisabeth Isir."

"Johan."

"Johan siapa?"

"Sanggenafa. Johan Sanggenafa," kataku membalasnya.

Setelah diam sesaat, kemudian dia menunjuk kumpulan para pemuda berpakaian lusuh mirip anak-anak geng di samping Burjo, di tempat parkir motor.

"Mereka itu selalu di sana," kataku padanya. Elis tersenyum. Senyum yang kaku. Sekilas kulirik, wajah dan senyumnya mirip kekasihku. Ini tak kuacuhkan. Kemudian tangannya menunjuk asrama polisi dari satuan Brigade Mobil (Brimob) yang terletak tak jauh dari tempat kami duduk.

"Beberapa dari mereka kadang memberiku salam ketika aku lewat. Kadang. Sekarang sudah lebih sering". Aku bicara saja tanpa diminta. Ada dorongan kuat bagi kata-kata itu untuk keluar, ketika Elis memandangku. Kemudian dia tersenyum kaku. Aku tak mengerti.

Kutarik nafas, dan kemudian dia tersenyum. Kemudian dia mengarahkan pandanganku pada warung burjo depan rel. Ia menunjuk pada warung burjo tempat aku makan. Kali ini kuperhatikan saja apa kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku diam saja tak bicara. Dia menoleh padaku, dan berkata, "Kau sering makan di sana bukan?"

"Iya."

Dan kembali ia tersenyum kaku. Kini aku lihat rambutnya kusut. Wanita ini kuperhatikan baik. Kutaksir umurnya tak lebih dari 24 tahun. Cantik. Tapi kemudian dia memegang tanganku, dan memandang jauh ke sana, dekat gubuk tempat ronda, samping rel, tepat di jalan masuk Burjo dari komplek kos-kosan mahasiswa.

Ada tumpukan sampah di sana, sedang bak sampah telah penuh dengan sampah. Dia terus memandang ke sana, dan kemudian menarik nafas panjang. Caranya menggeleparkan nafas beratnya membuatku iba. Entah mengapa.

"Kau mahasiswa baru, bukan?"

"Benar."

"Kau juga sering lewat lintasan kereta api ini."

"Benar." Aku kini mulai heran dengan wanita yang satu ini. Ia mengetahui aktivitasku. Kemudian wanita ini tersenyum. Dia memandangku dan bertanya, apakah aku mempunyai kekasih.

"Punya," kataku begitu saja. Ia tersenyum lagi, dan kemudian bersungguh-sungguh.

"Jaga dia untukku". Dan ini yang membuatku bingung. "... untuknya?" Dan ketika aku hendak bertanya, ia telah lebih dulu berkata padaku.

"Jangan jalan malam".

Itu saja katanya. Kemudian ia berdiri. Aku juga berdiri. Ia terus melangkah, menyeberangi lintasan kereta api. Sementara dari arah timur, sebuah kereta api dengan kecepatan tinggi melintas di lintasannya, yang kini berada di tengah kami.

Setelah kereta api lewat, wanita itu tak kutemukan lagi. Yang kutemukan kini adalah kegelapan yang amat gelap. Dan kemudian kabut-kabut kecil mulai nampak. Kabut itu bergerak-gerak, dan mataku mulai terbuka.

Setelah jelas, aku sadari bahwa kini aku di rumah sakit. Infus telah terpasang. Aku kemudian merasa kesakitan.

"Johan, kau untung. Sebuah truk menabrakmu di lintasan kereta api dekat Timoho. Kau terjatuh dan pingsan. Tapi dokter bilang kau tak apa, cuman pingsan," begitu Agus, sahabatku yang ada di sampingku itu menjelaskan.

"Johan, kau beruntung, tak ada satu pun luka di tubuhmu. Padahal kau jatuh di rel kereta yang berkerikil," terang Roni, kakak angkatanku sekabupaten. Roni memang sudah lama di Yogyakarta. Sejak tahun 2009.

Kudengar suara tangis, dan itu dari kekasihku, Anita. Belakangan, setelah aku keluar dari rumah sakit dan duduk berdampingan dengan kekasihku di sebuah rumah makan tak jauh dari rel kereta api, kutanyai dia perihal tangisnya dari rumah sakit.

"Aku pernah kehilangan seorang kakak." Ia berkisah. Dan seperti biasa, aku mendengarnya. "Dia meninggal dari Jogja. Ketika itu, aku kelas 2 SMA di Sorong."

"Bah, mengapa tidak kau ceritakan dari dahulu? Kenapa dia meninggal?" tanyaku.

"Dia dibunuh orang. Keluar kos sejak Kamis, 29 April 2010. Mayatnya ditemukan di samping rel kereta api ini 3 hari kemudian, tanggal 1 Mei. Dia dibunuh. Tapi polisi bilang dia disambar kereta api."

Aku tiba-tiba menjadi ingin mengetahui perihal kematian kakaknya.

"Siapa namanya, Nit?"

"Elis. Jessica Elisabeth Isir."

Dan tiba-tiba bayangan hatiku berdetak kencang. Aku takut dan kaku. Nama itu persis sama dengan nama wanita dalam mimpi waktu itu... . TAMAT.

Oleh, Topilus B. Tebai


Baca cerita di atas di sini: http://majalahselangkah.com/content/wanita-rel-kereta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda terhadap apa yang telah anda nikmati di atas!