Rabu, 16 Juli 2014

Sang Pahlawan


Tiap Minggu sore, lelaki paruh baya itu selalu ke Gereja. Orang-orang di kelilingnya cukup menghormati dia, terbukti dari cara mereka menyapa. Bahkan, ada warga yang telah dengan berani menyebutnya pahlawan.

Lelaki itu bernama Modestus. Perawakannya biasa. Yang membuatnya luar biasa adalah sorot matanya yang tajam, alis mata yang tipis panjang, dengan tampangnya yang berwibawa, dia terlihat sebagai seorang lelaki yang istimewa.

Modestus hanya seorang penduduk desa biasa. Sekitar 3 tahun yang lalu, desanya kedatangan sebuah perusahaan raksasa. Perusahaan itu akan bergerak di bidang pertambangan Emas. Memang, sejak dahulu, penduduk di situ sering mendulang dengan alat-alat tradisional untuk dijual agar hasilya dapat menambahi anggaran belanja rumah tangga mereka.

Kemudian beberapa peneliti dari Dunia Barat datang ke Desa. Mereka meneliti, katanya untuk studi kelayakan air dimana mereka biasa mencari emas dengan cara tradisional. Mungkin emas yang terpendam di balik tanah, beberapa meter di bawah sungai di Desa ini memikat hati mereka.

Bangsa Barat kemudian membuat rencana, membuka usaha tambang di Desa. Mereka mengajukannya ke pemerintah dan pemerintah menyetujui.

Pernah warga desa dikumpulkan oleh Kepala Desa dan beberapa pengurus Desa di Balai Desa. Mereka mengumpulkan warga hanya untuk menyosialisasikan akan adanya perusahaan emas yang masuk.

"Warga akan kaya-raya. Kita akan dipekerjakan di perusahaan Emas, dengan gaji tiap bulan yang tinggi. Perusahaan akan membawa dampak positif yang besar bagi hidup kita," kata Kepala Desa.

"Benar. Emas milik kita tidak akan sia-sia. Semua akan dikelola dengan baik. Dengan datangnya persahaan, akan ada listrik yang akan dialirkan dari rumah ke rumah hingga Desa kita terang siang dan malam, bebas pungutan," kata pengurus Desa yang lain.

Juga kata yang lain, Air bersih, sekolah, dan rumah sakit akan didirikan di kampung kita, bila perusahaan Pertambangan Emas masuk.

Menurut Kepaa Desa ketika itu, warga desa akan dipekerjakan berkisar 70% dari total karyawan yang dibutuhkan perusahaan. Itu, kata Kepala Desa, untuk mengangkat taraf hidup warga Desa sebagai pemilik hak ulayat tanah dimana perusahaan perdiri.

Perusahaan itu sudah 3 tahun masuk. Kini, apa yang terjadi? Semua yang digembar gembor saat kampanye di awal masuknya Perusahaan Pertambangan Emas itu hanya mimpi yang akan terus menjadi mimpi. Bagaimana tidak, warga yang bekerja di perusahaan itu hanya 20%. Itu pun hanya pekerja kasar di lapangan, yang sarat dengan resiko kerja dan berbahaya. Masyarakat yang lain menganggur, tidak bekerja, karena lahan pertanian mereka yang di pinggir sungai telah dipatok perusahaan sebagai areal pertambangan.

Air bersih yang dijanjikan belum terealisasi, apalagi listrik. Benar, ada Pembangkit Listrik Tenaga Air yang dipasang perusahaan di kampung mereka. Tetapi itu hanya untuk perusahaan, Kepala Desa dan beberapa staf desa. Hanya untuk mereka.

Kehidupan desa yang dulu aman, tiba-tiba berubah. Di desa mereka, didirikan tempat Karaoke. Ada Bar. Ada juga tempat Billiar. Ada tempat Pekerja Seks Komersial. Desa mereka jadi pusat peredaran minuman keras. Seharian, para pemuda desa menjadi malas bekerja. Ingin terus nongkrong di Bar, tempat Billiar, sambil meminta-minta karyawan tambang, atau dari merampok dan mencuri.

Harga barang terus naik. Warga tak mampu membelinya lagi, dan karenanya harus mendulang secara tradisional di tempat pembuangan limbah tambang. Walau hasilnya sedikit, biaya hidup yang mulai mahal menuntut mereka harus bekerja, menghasilkan uang.

Penyakit menular juga mulai muncul. Awalnya kudis. Kemudian ada beberapa jenis penyakit yang sulit dideteksi mucul. Penyakit penyakit yang baru bermunculan ini sangat berbahaya. Sementara rumah sakit yang ada hanya melayani para karyawan pertambangan.Penyakit dan analisis dampak lingkungan ditak menjadi tanggungjawab perusahaan.

Rumah sakit untuk masyarakat, ada, tetapi mereka harus mengeluarkan uang yang sangat tinggi.

Sebenarnya bila ditelisik, penyakit ditimbulkan akibat warga masih menggunakan air limbah untuk kebutuhan sehari-hari, karena tidak ada sumber air bagi mereka.

Moral warga desa juga mulai hancur. Adat istiadat desa jelas sudah jauh ditinggalkan. Pembangunan yang dijanjikan hanya mimpi di siang hari. Yang terjadi, hanya Kepala Desa dan para staf yang semakin kaya.

Pernah ada protes dari masyarakat, dipimpin oleh Angganita, seorang lelaki tegap kuat, dengan sorot matanya yang tajam, bersama anaknya, Symson. Namun Angganita hilang secara misterius dari kampung.

Kabar yang beredar mengatakan, Angganita sempat diundang oleh Kepala Desa untuk berunding pada jam 12 malam. Dan sejak itu, jejaknya tidak ditemukan. Polisi dan petugas telah menyusuri seluruh lorong desa, mencari dari rumah ke rumah, di lingkungan sekitar desa, Angganita tidak ada.

Setelah Angganita hilang, perlawanan rakyat berpindah ke anaknya, Symson. Modestus, lelaki paruh baya itu menggabungkan diri. Dengan kepiawaiannya berbicara, dengan bekal Ilmu Hukum yang dimilikinya, Modestus ditakuti perusahaan, Kepala Desa dan beberapa pelindung perusahaan lainnya.

Berlahan, gerakan perlawanan warga desa menjadi semakin kuat. Semua berkat Modestus yang seakan memunyai daya tarik. Ia menghimpun semua lapisan masyarakat, dan memberikan pemahaman, bahwasanya sementara Perusahaan Emas itu masih bercokol di daerah emreka, kehidupan ini akan terus demikian. Pilihan hanya 2, perusahaan memperhatikan tuntutan mereka, atau perusahaan angkat kaki dari Desa.

Kepala Desa bahkan sampai mengancam Mosestus untuk tidak memberontaki perusahaan, tetapi Modestus nekat.

Kini, di desa, Modestus adalah sosok pembela rakyat yang membawa secercah harapan. Dia adalah pejuang dan pahlawan yang hidup. Bagi perusahaan Emas itu, Modestus tidak lebih daripada duri dalam kerja perusahaan mengeksploitasi emas di Desa, yang harus segera disingkirkan, demi laba dan laba.

***

Malam yang gelap. Dingin menusuk sendi. Langit diselimuti kabut hitam, malam benar benar hitam. Pohon Cemara dan Mahoni di jalan masuk desa begitu tenang, bergerak sedikit pun tidak. Mereka tampak ketakutan.

Bulan juga enggan menerangi. Bulan jelas ketakutan, bersembunyi di balik kabut.

Dari jalan itu, derap langkah orang berlari jejas terdengar. Lelaki itu mengenakan pakaian serba putih, membuat ia menjadi terang di tengah gelap. Tangannya menenteng sesuatu. Dia adalah Angganita, pimpinan pemberontakan rakyat yang hilang dua minggu yang lalu. "Tuhan.., apa yang di tangan Angganita?" Sebutir kepala manusia!

"Lihatlah, ini kepala pimpinan Perusahaan Emas di Desa kita."

Angganita mengangkat kepala itu tinggi-tinggi. Bagai halilintar di tengah langit pekat, pekikan heroik Angganita kemudian membahana dari mulutnya.

Ia kemudian memandang Modestus. "Kemari Modestus, jangan takut.., berpikirlah dahulu sebelum bertindak!"

"Aaakh... ."

Modestus segera bangun dari tidurnya. Istri dan dua anaknya masih tertidur pulas. Dilihatnya jam dinding, tepat jam 12 malam.

Modestus mimpi lagi. Sudah lima atau enam kali ia telah bermpi dengan alur yang sama. Setiap malam ia bermimpi yang sama. Modestus benar-benar bimbang, apa arti mimpinya itu.

Berlahan, ia berjalan ke beranda rumah. Sambil menenteng segelas air putih, ia kemudian meneguknya setelah duduk di kursi depan, dan kemudian merenungkan apa arti mimpi itu.

Beberapa saat Modest duduk berdiam diri. Di luar, ia merasa ada orang yang datang mendekat. Langkah kakinya, walau pelan, cukup bergema di telinga Modest. Beberapa saat kemudian, pintu diketok.

Modestus membuka pintu. Ternyata Anton, orang yang paling dipercayainya dalam perjuangan warga Desa mengusir kapital. Ia datang dan berbisik kepada Modest.

"Angganita memanggilmu."

"Saya? Dari Angganita?" tanya Modest ragu.

"Sekarang?"

"Iya."

"Dia masih hidup?"

"Iya. Dia di seberang sungai. Cepat bersiaplah."

Modest segera menuju kamar tidur. Didapatinya istri dan anak-anaknya. Entah apa yang dipikirnya, ia mencium kening Istri dan anak-anaknya, menarik sebilah parang di samping meja, dan mengikuti langkah Anton, ke luar.

Mereka menyusuri jalan setapak. Setelah menyeberangi sungai, Anton berhenti.

"Lihatlah di seberang sana, di bawah pohon Beringin besar itu. Dia Angganita. Dia sedang menunggumu," kata Anton.

'Kita bersama menemui beliau," desak Modestus.

"Tidak. Aku ditugaskan hanya untuk mengantarmu. Kata Angganita, ini berita penting dan rahasia. Saya tidak diizinkan datang."

Modest melangkah menuju tempat yang ditunjukkan. Benar, seorang manusia seperti berdiri di sana. Dengan langkah pasti, Modestus melangkah. Dari dekat, diciumnya bau darah.

Modestus menerangi sosok orang itu dengan senter yang dibawanya. Ternyata.., "Tuhan.., Angganita..," Angganita baru saja dipotong lehernya. Kepalanya hampir terputus dari leher. Angganita sudah tidak bernyawa. Ketika Modestus hendak lari kembali, sebuah senter besar menerangi wajahnya.

Gabungan militer dan petugas keamanan desa dan Perusahaan Emas itu telah mengepungnya.

"Modestus, lekas menyerah. Kau tertangkap basah membunuh seorang tokoh masyarakat, Angganita. Segera letakkan perangmu, dan angkat tangan. Kau tidak akan disakiti. Kami hanya akan memprosesmu dengan hukum yang berlaku di negeri ini," begitu perintah Kepala Desa dari balik semak.

***

Desa itu kembali geger. Seorang pemimpin gerakan perlawanan rakyat Desa, Modestus, kembali hilang secara miterius, seperti pendahulunya, Angganita. Penduduk bersama aparat gabungan telah mencari dari rumah ke rumah, di setiap lorong desa, di hutan sekitar desa, Modestus tidak ditemukan. TAMAT.

Oleh, Topilus B. Tebai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda terhadap apa yang telah anda nikmati di atas!