Rabu, 16 Juli 2014

Maria Sanggenafa


Ketika perempuan berambut pirang berombak itu datang lagi dengan mendorong motornya ke arah rumahku, aku kini mulai memuji kreativitasnya merebut hatiku. Lihat bajunya, matanya, wajah bulat ovalnya, rambut pirang yang keriting yang dibiarkan terurai hingga sebahu itu diterpa mentari sore.

Dia mungkin saja made in tulang rusuk kiriku oleh Tangan Tuhan. Dan untuk kalimat ini, aku samar-samar ingat ajaran kuno dari Ibuku ketika usiaku 5 tahun. Dan ini hanya untuk membenarkan aksiku pada umumnya.

Aku tersenyum kecil sambil menutup notebook yang merekam semua aksi petualanganku dan bergegas menemui gadis itu di bengkel depan rumahku.

Saya kenal gadis itu sejak seminggu yang lalu. Kami sudah 6 kali bertemu dan ini yang ketujuh dengan posisi pertemuan yang sama: dia membeli bensin padaku. Mulai Senin hingga Minggu sore ini.

"Abang Matiew, bensin."

"Ok. Berapa liter Nona?"

"Dua liter saja, Bang."

Abang? Akh, aku tak percaya gadis itu memanggilku demikian. Yang aku tahu, namanya Maria Siranda Sanggenafa. Ayahnya asli Papua, kerja di lingkungan pemerintahan kabupaten Biak, tempat kami tinggal. Rumahya aku tahu, tak jauh dari rumahku. Ibunya orang Maumere, Ende, Flores. Mungkin karena ibunya orang Flores, aku dipanggilnya Abang. Entahlah.

"Bang, tinggal sendiri di rumah sebesar ini?"

Aku tak menyangka gadis cokelat manis yang tingginya kutaksir 159 cm dengan mata indah ini akan memberiku pertanyaan demikian.

"Iya. Sendiri."

"Kok sendiri, Bang. Belum punya keluarga ya?"

"Ya, belum."

"Harusnya Abang sudah punya keluarga."

Gadis ini kemudian tersenyum kecil. Senyuman indah yang tepat seperti senyum ideal seorang wanita idaman dalam bayanganku.

"Bang Matiew punya keluarga di Belanda?"

Kali ini mimik mukanya serius. Gadis itu kutatap dahulu. Berbaju merah muda tipis. Jeans menutupi tulang kaki rampingnya. Dia sempurnya untuk ukuran gadis Biak umumnya.

"Masih belum punya Nona. Kan sudah aku bilang, aku masih kuliah S2 di Jerman."

Karena aku telah berbohong padanya di awal, kini aku harus berbohong lagi. Berbohong bukan kesukaanku, tetapi kali ini harus.

Bila kau menyalahkanku, salahkan aku di 3 hari yang lalu, bukan aku di sore ini. Aku, juga kau pastinya, akan memutuskan untuk menipu daripada malu di depan gadis idaman secantik Maria. Kulihat dia puas dengan jawabanku.

Dia masih tak tahu bahwa aku adalah seorang petualang. Dia masih tak tahu aku adalah anak seorang pebisnis internasional kenamaan asal Leiden, Belanda. Dan aku, Matiew, anak ketiga Muninghoof, ayahku, tugasku hanya menikmati hidup dan berpetualang keliling dunia.

Usai tamat dari Universitas Leiden jurusan bahasa, aku lebih tertarik berpetualang. Sebelum menginjak tanah ini, aku sudah pernah ke 13 negara. Ini Negara ke-I4.

Negara pertama yang kukunjungi tentu saja Indonesia -untuk menghormati rempah-rempahnya yang telah membuat ayahku salah satu orang terkaya di Nederland- dan terakhir kali sebelum di negara ini adalah Australia.

Dengan penampilanku yang necis dan gayaku yang khas, mengandalkan tampangku yang di atas rata-rata, aku harus jujur mengakui, telah ada 25 gadis di 13 negara yang telah kuperdayai.

Dan kau tahu, Maria Sanggenafa, gadis manis di depanku ini, yang telah membuatku di awan-awan hanya karena senyum manisnya yang seindah pantai Tobati di negaranya ini telah aku catat di notebook khusus korban petualanganku sebagai gadis ke-26.

Dia tak sadar siapa aku, dan aku pun tak ingin menggubris lagi daftar itu dan urutannya: yang terpenting adalah menikmati moment ke moment yang kian indah ini.

Bila ingin aku jujur, gadis ini istimewa. Seperti gadis Brasil yang kutemui di Miami, pantai dengan pusat narkoba, wanita dan bisnis hitam yang paling membekas dalam ingatanku itu. Mungkin karena keriting rambutnya yang sama. Atau barangkali mata putih mereka, titik di hitam di tengahnya dengan mahkota alis yang tipis dan bulu mata yang lentik.

Aku kini mulai tak sabar menunggu saat-saat yang begitu indah itu.

Tentu saja, bersama gadis ini, yang tak sadar bahwa barangkali aku monster terbaik yang akan memberinya kedamaian yang bakal akan dikenangnya seumur hidup dengan cucuran air mata- seperti gadis-gadis lainnya yang telah kudaftar.

"Bang, aku takut sendiri di rumah. Kedua orang tuaku sedang ke luar daerah. Bolehkan aku mengajak Abang barangkali 5 hari ini bersamaku di rumahku. Rumah sebesar itu membuatku takut."

"Hmmm.. ya, baiklah Nona."

Sekilas kulihat senyum mekar di bibirnya. Dan untuk kali ini pun, gadis ini pasti tidak tahu. Aku yang membuat kedua orang tuanya harus berangkat ke luar kota mendadak bekerja sama dengan atasannya untuk urusan ciptaanku di Ibukota negaranya.

Yang terpenting kini, setelah merebut kepercayaan gadis ini di 6 hari pertama, inilah waktunya aku berduaan bersamanya.

"Bang, ini kamar kosong. Abang tinggal di sini. Sekarang sudah sore. Silahkan mandi dan mengganti baju. Aku akan segera menyiapkan makan untuk malam ini."

Matanya mengedip penuh arti padaku begitu aku melihatnya. Hatiku berbunga. Yang aku harapkan, dan yang aku impikan pasti akan terjadi. Dan mulai malam ini. Ya, malam ini.

Aku bersiul kecil ke kamar mandi, membersihkan tubuhku sebersih-bersihnya. Bahkan dari Leiden pun kupikir aku tak mandi dengan cara seperti ini. Pikiranku melayang jauh. Imajiku singgah satu per satu pada para korbanku.

Di Pantai Kuta, Bali, sebelum peristiwa Bom Bali, aku pernah bersama Ratyaningsih, wanita keturunan Tionghoa yang kuliah semester akhir di Bali. Aku memperkenalkan diriku padanya sebagai pengusaha yang sedang berwisata ke Bali. Untuknya, aku hanya butuh 5 hari untuk akhirnya wanita itu jatuh ke pelukanku.

Juga Sellena di Hawaii, Pasifik. Wanita India keturunan Jepang itu hanya butuh 6 hari untuk membuatnya tertidur lemas di sampingku. Juga Marry, wanita kulit hitam asal Afrika Selatan itu. Mengenai dia, aku sudah mulai lupa. Baginya, aku butuh sepekan saja. Dia sahabat sepekanku di urutan dua daftar korbanku.

Barangkali kau menyebut aku ahli di bidang ini. Aku tak akan mengomentarinya. Itu benar.

"Bang, mari makan."

Pintu kamarku diketok, dan aku sengaja membukanya hanya dengan celana pendek yang tak pantas. Ketika pintu terbuka, kulihat Maria Sanggenafa telah berdandan rapi. Melihatku tak berbaju, dia dengan sopan mempersilahkanku memakai baju dan menungguku di meja makan sambil menutup pintu kembali.

Ketika memandang matanya, ada seberkas sinar putih yang masuk menembus mataku. Sinar itu hangat, dan ketika getarannya mengena di hatiku, aku menjadi malu. Malu telah berpenampilan demikian di depannya.

Setelah berdandan rapi, aku ke luar menjumpainya di meja makan.

Ketika tanganku hendak mengambil piring dan memindahkan nasi dari tempatnya, tanganku dicegat wanita ini. Kini, dia kulihat lain. Dia bersahaja, dan aku tak tahu kesalahanku.

"Kita berdoa dahulu, Bang."

Aku tiba-tiba merasa kerdil di hadapannya, gadis kecil ini. Aku merasa malu.

"Bang Matiew, silahkan pimpin doa sebelum kita makan."

Kini aku semakin dalam menunduk dan tak mampu memandangnya. Ketika tangannya menyentuh bahuku, aliran hangat yang sama memaksaku mengangkat muka. Dengan lemas aku jawab dia.

"Aku tak tahu berdoa."

Sebelum makan, Maria Sanggenafa mengajariku berdoa. Aku yang sedari kecil tak tahu menahu soal berdoa sejak Ibu kandungku meninggal saat aku berusia 5 tahun itu seperti remaja kerdil di hadapan gadis bersahaja berjiwa besar.

Setelah makan, Maria mengantarku ke tempat tidur, mengajariku membaca dan merenungkan firman Tuhan dan berdoa sebelum tidur dari Madah Bakti miliknya.

Aku benar-benar merasa kerdil. Gadis Negara ini tak seperti gadis yang telah kujumpai di Negara Indonesia dan gadis-gadis di negara lain.

Dan ajaibnya kini, ada kitab hitam di tanganku. Kubuka kitab itu, dan kudapati kutipan ini di 1Yohanes 1 : 9, berbunyi: "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan."

Malam itu, air mata menetes jatuh. Aku menyesali dosa-dosaku, berharap dosaku diampuni, dan mengikat janji akan berubah.

Petualanganku mungkin terhenti di kota ini. Dari Negara ini, aku mungkin akan menempuh jalan baru yang lebih indah. Malam itu, aku tidak lagi tidur sebagai binatang jalang yang dilahirkan harta dan kenikmatan. Aku terlelap tidur sebagai Matiew Muninghoof, anak Tuhan dari keluarga Muninghoof. TAMAT.

Oleh, Topilus B. Tebai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda terhadap apa yang telah anda nikmati di atas!