Rabu, 16 Juli 2014

Bersama Labobar di Teluk Cendrawasih


Distrik Samabusa sudah tidak terlihat lagi di pandangan. Hanya tower jaringan dan lampu pengarah kapal yang kentara. Selebihnya kini tinggal lautan biru yang membentang.

Para pemuda telah bertengger bak burung pipit di tali jemuran menghadap padi yang menguning di persawahan di Imogiri kepunyaan kakekku yang pernah aku lihat beberapa tahun yang lalu. Ada yang sibuk bercengkerama, ada yang berdiri mematung tak bicara, masing-masing dengan khayalannya.

Sementara lautan teluk Cenderawasih yang kami arungi tak peduli dengan tingkah mereka, para pemuda itu, juga dengan khayalanku. Dia seperti pokok padi di senja hari yang menyerahkan dirinya bulat-bulat pada sang angin yang menggoyangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan tanpa mampu berbuat apa-apa. Kecuali satu: Laut memang teduh tapi buas.

Lihatlah ombaknya. Semakin kapal melaju meninggalkan Samabusa, laut menjadi lebih garang. Ibarat penjahat, dia makin beringas, menyeringai, mempertontonkan betapa dia adalah satu-satunya makhluk paling berbahaya yang harus ditakuti kawan dan lawan: dia memaksa pengakuan dariku barangkali.

Entahlah! Sudah sebulan aku di Nabire, sebuah kota Kabupaten yang memesona. Yang tidak akan aku lupa adalah laut dan pantai dengan pasir putihnya yang masih perawan, yang bagai seorang gadis, setiap gerakan dan lekukan tubuhnya mampu bangkitkan birahi, begitu aku dibuatnya, bahkan oleh riak dan gelombang ombak yang memukul tiang kakiku. Kala itu, aku dengan Johannes mengunjungi pantai Irio.

Deburan ombaknya seperti pukulan tifa berirama penuh daya magis, seperti dalam cerita Johannes tentang leluhur pulau Moor dahulu kala, ketika kami makan di warung Idola, satu-satunya warung makan kelas I di kabupaten ini, yang seporsi nasi ikannya 50.000 rupiah.

Kini, pulau Moor, Mambor, Ohee, telah kami lewati. Udara menjadi begitu sejuk. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menyisahkan cahaya keemasannya. Laut yang garang mencoba menerima transformasi ini. Seperti seorang penjahat yang dari wajah garangnya muncul senyuman indah kala disapa gadis idaman, begitu juga laut teluk Cenderawasih ini memantulkan indahnya cahaya mentari sore.

Tapi tak begitu dengan hati ini. Sakit, rindu, dan cinta hanya mampu menghasilkan titik air bening di mata: aku sudah dipisahkan begitu jauh. Mata yang menghasilkannya memerah, dan air beningnya semakin deras mengalir.

Kini kualami sendiri apa kata Johannes. Angin teluk ini begitu nakal. Dia menampar tubuhku dengan kencangnya, mengurai rambut panjangku hingga terurai ke belakang, disinari sisa-sisa sinar keemasan sang surya yang masih bersinar. Seperti seorang pejuang yang bahkan di nafas-nafas terakhirnya masih memikirkan rakyatnya, begitu pula rasanya sang mentari terhadapku.

Hanya kenyataan ini yang mampu membuatku berpikir, seakan sayangku hadir bagai secercah berkas sinar penghabisan ini dengan maknanya yang sama di hatiku.

Akh, aku masih ingin berdiri di sini. Di Cafetaria ini, mataku tak hentinya memandang ke arah selatan, tempat dimana Nabire ada di baliknya. Tempat dia mengukir namanya di hatiku dengan huruf surgawi yang tak dapat dihapus siapapun dia -kecuali Dia, Sang empunya Surga dan Bumi ini- dan membuatku tak mudah melupakannya begitu saja.

Dia tak memberiku apa-apa. Bahkan senyum dan ciuman pun tidak kala aku menaiki tangga kapal, bersiap meninggalkannya. Tak ada kata-kata. Dia hanya menghadiaiku kisah.

Cerita tentang masa depan dan hari esok yang lebih baik bagi kami berdua. Cerita tentang masa depan bangsanya yang bebas dan merdeka. Cerita yang barangkali adalah karangan salah satu malaikat Tuhan yang dicuri Johannes dari surga, tempat Koheidaba bersemayam, seperti ceritanya ketika itu dari Bukit Seribu Bintang, Gunung Kidul saat kami mengukir kisah di Jogja.

Kegelapan akhirnya menang. Hanya langit yang memerah di ufuk barat. Di timur, gelap sudah merajai jagad. Aku mulai kedinginan.

Angin malam memang dingin. Kata Johannes, di Deneiode, kampungnya yang katanya berada tinggi di lapisan awan teratas dari seluruh lapisan awan, dingin malam dapat menembus selimut setebal 5 sentimeter. Gila! Barangkali aku sudah berada malam ini bersamanya di rumah Honainya yang biasa aku bayangkan setiap malam, walau hanya mendengar dari ceritanya.

Akh, khayalan ini hanya membuatku tertawa kosong. Ini semua tak nyata!

***

KM. Labobar yang kutumpangi menurut jadwal yang tertera, akan tiba di Wasior pada esok, subuh. Bertolak dari pelabuhan yang tak mungkin aku kenali karena terbayang nasib Johannes kala datang 4 tahun yang lalu ke Yogyakarta itu terulang lagi padaku, aku akan menuju Manokwari.

Dompetku yang isinya hanya empat kertas lembar berwarna merah dengan gambar Soekarno, sosok yang kadang dicaci maki juga dikagumi dia yang di hatiku ini, tak ingin berpindah tangan kepada para pencopet jahanam itu.

Manokwari itu ibukota Papua Barat. Papua Barat adalah sebuah provinsi pecahan dari provinsi Papua. Papua Barat bukan West Papua, padahal West Papua dalam bahasa Indonesia berarti Papua Barat.

Setidaknya, itu pengertian baru yang menjadi peninggalan berharga Johannes untukku seorang. West Papua adalah wilayah teritori sebuah negara, dari Sorong di Papua Barat sampai Merauke di ujung selatan Papua. Itu salah satu benda pusaka peninggalan Johannes untukku seorang.

Kemudian aku akan tiba di pelabuhan Makassar, tanah air dari tokoh Indonesia yang aku kagumi, Jusuf Kalla. Sayangnya aku akan tiba di sana setelah 2 hari lamanya mendekam di atas penjara berjalan ini: KM Labobar.

Aku berharap, dalam 2 hari perjalananku hingga tiba di Makassar, aku sudah bisa menenangkan perasaanku yang makin lama semakin menggebu ini. Aku sebenarnya ingin kembali ke Nabire, bersama Johannes lagi. Tapi di hari terakhir, dia tidak kujumpai.

Keluarganya menyembunyikan dia dari padaku. Mereka mengatakan aku wanita Indonesia yang akan mengancam eksistensi Johannes yang adalah pejuang pembebasan bagi bangsanya itu di dunia ini. Dia, kata mereka, harus jauh dari diriku seorang.

Aku sadar, aku hanya gadis Yogyakarta yang bagi mereka mungkin pantas menyandang gelar itu 'anak dara Indonesia'.

Tapi pengertian ini kutepis kuat-kuat dalam hatiku, dengan segenap kekuatan yang ada padaku: Aku bukan wanita Indonesia. Aku dara Yogyakarta.

'Aku manusia. Dan yang nyata, aku mencintai Johannes, tak peduli siapa dia, dan tak peduli apa kata kalian padaku. Aku hanya berjuang untuk tujuan yang semestinya aku capai, dan kau tak berkuasa menghalangiku, sementara aku berjuang di koridor yang semestinya, hanya demi sebuah kata yang awalnya diperkenalkan padaku oleh dia, yang belakangan ini kusadari kedahsyatan kekuatannya: cinta'.

Dari Makassar, aku akan tiba di Surabaya. Setelah kuinjak tanah Jawa, akan ada pamanku di sana yang akan menjemputku di pelabuhan dengan sedannya, dan aku tak kuatir lagi bagaimana aku akan tiba di Klebengan, Bantul, Yogyakarta.

Yang sampai saat ini teringat di benakku hanya pesan Johannes yang dituliskanya di secarik kertas putih.

"Maria Stevani Ratnakusuma. Nama dan cintamu kan ada di setiap tarikan nafasku, hingga Dia menarik kembali nafas milik-Nya dalam tubuh ini dari padaku. Aku mencintaimu. Percayalah, kita akan bertemu kembali."

Aku sangsi tapi bahagia dengan kalimat yang terakhir ini: "Percayalah, kita akan bertemu kembali."

"Ya, aku percaya, Kita akan segera bertemu kembali."

Kulihat sekelilingku, dan kukenali muka-muka kebingungan di sekitar tempat tidurku menatapku dengan tatapan aneh, lucu dan bingung. Ternyata aku telah mengatakannya dengan keras dan tegas, seakan Johannes ada 2 meter di hadapanku, tepat seperti saat dia menyatakan cinta di malam itu, tepat di depan lapangan sepakbola Universitas Katolik Sanata Dharma Yogyakarta, 2 tahun yang silam.

Aku jadi tersipu malu.

***

Tiang penyiksaan itu seperti yang pernah aku saksikan dalam film The Passion of Jesus Christ. Tuhan Yesus, pahlawanku, yang aku lihat menderita karena dicambuk, dirajam, ditendang, diolok-olok, diludahi dan dikhianati. Semua itu Ia terima tanpa sepatah kata pun, selain erangan kesakitan, demi membebaskanku dari penjajahan dosa.

Aku kemudiam melihat seorang lelaki dengan kedua tangannya terikat oleh dua rantai besar. Kedua rantai itu terikat di tiang utama penyiksaan, tiang yang telah menghitam karena percikan-percikan darah yang mengering dan serpihan serpihan daging sang penerima siksaan yang sudah membusuk.

"Ini tempat penyiksaan para jahanam, pembangkang, pemberontak."

Aku mendengar suara itu, entah dari mana datangnya. Aku seperti seorang Rasul Yesus Kristus dalam kitab Wahyu yang melayang-layang, dibawa oleh malaikat Tuhan menyaksikan peristiwa-peristiwa terpenting yang akan terjadi di kemudian hari. Aku simak baik-baik, seakan itu adalah wahyu yang akan aku wartakan.

Ada ribuan pasukan berbaris. Di kiri kanan, puluhan algojo dengan cambuk besinya mulai mencambuki tubuh Tuhan Yesus. Batinku teriris.

Aku rasai dan jiwai penglihatan ini: Tuhan Yesus mati bagiku, bagi kebebasanku. Aku mulai menangis.

Erangan kesakitan mulai terdengar. Kulihat peluh menetes dari dahi para algojo. Darah terpercik ke mana-mana. Lama-kelamaan, serpihan-serpihan otot dan daging tubuh Tuhan ikut mencuat. Aku tersungkur dan menangis, dan para algojo semakin tergila-gila mencambuk.

Aku lihat wajah Tuhan Yesus berlumuran darah. Wajah, terutama mata-Nya telah tertutup oleh darah kental dan serpihan kulit kepala dengan rambut-Nya, menyulitkan Dia untuk melihat. Seperti seorang Maria Magdalena yang mengusap wajah Tuhan, aku ambil sehelai kain dan mendekat ke arah Tuhan sambil menangis.

Kutegakkan kepala-Nya, dan kuusap wajah-Nya dengan kain. Samar, kulihat wajahnya. "Tuhan ..." Dengan tangan bergetar, aku raba wajahnya.

"Tuhan Yesus ..."

Ternyata yang disiksa itu adalah Johannes, kekasihku.

"Maria, kau harus rela. Aku harus menderita seperti Kristus demi kebebasan bangsaku. Darahku akan menyirami semangat pembebasan. Serpihan dagingku akan jadi pupuknya. Aku menunggumu di Surga, bersama Dia, Kohei ..."

"Tidaaaaaaaaak ...."

Dan aku kaget ketika seorang perempuan di sampingku membangunkanku.

"Adik, kau mengingau. Ini, minumlah dulu."

Perempuan itu menyerahkan air dalam kemasan padaku. Udara masih dingin ketika kain yang melilit tubuh kulepas. Segera aku ke luar, menuju Cafetaria. Kupandang sekali lagi ke timur laut, dimana Samabusa berada di balik lautan yang di depan mataku ini.

"Tuhan Yesus, kuserahkan Johannes dalam tangan-Mu sendiri."

Hanya ini yang bisa keluar dari mulut. Butiran bening dari mataku kemudian memanjatkan doa pada-Nya, lebih lama dan panjang dari yang dapat keluar dari mulutku. SELESAI

Oleh, Topilus B. Tebai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda terhadap apa yang telah anda nikmati di atas!